Sudah menjadi rahasia umum bahwa anti rokok sangat membenci rokok. Sebagaimana dogma anti-antian yang lain, para anti rokok menunjukkan sikap yang jelas-jelas melawan, menentang dan memusuhi rokok—sebagai objek yang dibenci. Pertanyannnya: apakah sikap anti terhadap sesuatu harus membunuh nalar dan logika?
Bukan. Saya bukan ingin melarang ketidaksukaan seseorang pada sesuatu. Saya pun punya sikap anti terhadap suatu hal. Pada drakor (drama Korea), misalnya, saya sangat anti. Apakah saya harus membenci semua K-popers se-dunia? Apakah saya harus berupaya keras agar film drakor dihapuskan dari muka bumi? Ya, jelas tidak.
Sah-sah saja jika kita tidak menyukai sesuatu. Tapi, kebencian yang berlarut akan berpotensi mengaburkan akal sehat. Seperti yang berulang kali ditunjukan oleh para anti rokok. Mereka sering menuntut kenaikan cukai rokok. Bagi mereka harga rokok harus dinaikan setinggi-tingginya untuk membuat para perokok insaf. Iya, insaf. Argumentasi ini, menurut saya, hanya lahir dari akal yang kurang sehat.
Merokok, oleh mereka dikategorikan sebagai suatu dosa hingga mereka berinisiatif untuk mengembalikan para perokok ke jalan yang benar dengan mendorong harga rokok yang mahal agar tak terbeli. Lalu, bagaimana pandangan mereka tentang pemuka agama yang merokok? Mau menyuruh insaf? Halaah.. makin gak sehat.
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil.”
Beberapa hari lalu, Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei terkait dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Menurut data yang mereka rilis, 88 persen responden mendukung adanya kenaikan harga rokok. Jangan tanya siapa saja yang jadi responden, mari kita fokus pada argumentasi mereka.
Menurut mereka, harga rokok di Indonesia terlampau murah. Perbandingannya tentu saja dengan harga sebungkus rokok di luar negeri yang (jika dirupiahkan) mencapai ratusan ribu. Padahal, faktanya tidak begitu. Perhitungannya jelas, bukan dengan mengubah kurs secara sederhana seperti yang dilakukan anti rokok. Kalau kita mau lebih serius menghitung, sebenarnya harga rokok di luar negeri, misal di Australia, lebih murah daripada rokok di Indonesia.
Pendapatan per kapita di Indonesia tahun 2017 adalah 3,877.74 USD atau sekitar Rp 4,7 juta per bulan. Sedangkan, pendapatan per kapita di Australia tahun 2017 adalah sekitar 54,286.29 USD (setara dengan Rp 65 juta per bulan). Harga rokok di Australia yang mencapai Rp 200 ribu sebungkus hanya sekitar 0,3% dari penghasilan rata-rata orang di sana. Sementara di Indonesia, sebungkus rokok dengan harga Rp 20 ribu sama dengan 0,43% dari rata-rata penghasilan orang Indonesia. Dari perhitungan tersebut kita akan sadar bahwa indikator murah atau mahalnya suatu produk tidak bisa disamakan di tiap negara.
Direktur Executive Center for Indonesian Taxation Analysis, Yustinus Pratowo, menyebut harga rokok di Indonesia jauh lebih mahal jika dihitung berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative Income (PRI), yaitu rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
Jika dilihat dan dihitung dengan cara yang benar, harga rokok di Indonesia terbukti lebih mahal daripada harga rokok di negara lain. Sayangnya, cara menghitung ilmiah yang seperti ini tak dihiraukan oleh anti rokok. Sekalipun ngawur, seorang yang sudah anti terhadap rokok akan selalu mencari alasan untuk membunuh rokok.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022