Press ESC to close

Ketika Dana Cukai Diselewengkan Oleh Pemerintah

Penggunaan dana cukai untuk menutup defisit anggaran Jaminan Kesehatan Nasional atau bahkan untuk mendorong terjaminnya kesehatan milik rakyat bukanlah hal yang salah. Tentu perokok, sebagai penyumbang dana cukai, tidak bakal berkeberatan. Masalahnya, dana yang digunakan dari alokasi tersebut adalah yang seharusnya dikembalikan pada para penghasil cukai, bukan yang lain.

Perlu diketahui bahwa dana cukai adalah semacam pungutan yang ditarik dari konsumen suatu produk untuk dikembalikan lagi kepada mereka. Selain itu, dana tersebut juga diperuntukkan stakeholder yang terlibat dalam hulu industri penghasil cukai. Dan pada konteks kretek, dana tersebut disebut sebagai dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT)

Setiap tahunnya, 2% dana cukai dialokasikan pada DBHCHT untuk dibagikan kepada daerah penghasil cukai. Artinya, jika total penerimaan cukai 2017 adalah sebesar Rp 149 triliun, maka Rp 2,98 triliun bakal dibagikan ke daerah-daerah penghasil.

Nah, pada dana 2% yang sudah dibagi-bagi itu, dibuatkan lagi aturan pengalokasian untuk beberapa sektor seperti: untuk sosialiasi aturan cukai, pemberantasan rokok ilegal, peningkatan mutu bahan baku, pembinaan industri, juga pembinaan lingkungan sosial. Aturan ini membuat dana 2% yang sudah dibagi-bagi tersebut, menjadi semakin kecil dampaknya buat petani atau industri karena kembali harus dibagi-bagi dahulu pada sektor yang lain.

Baca Juga:  Risiko Merokok Meningkat di Masa Pandemi, Benarkah?

Kini, dengan keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 Tahun 2017, DBHCHT yang harusnya didapatkan para petani juga pelaku industri bakal semakin berkurang karena harus kembali dibagi untuk anggaran JKN. Yang membuatnya tidak adil, aturan tersebut mengharuskan anggaran DBHCHT dialokasikan minimal 50% untuk kepentingan JKN.

Secara hukum, hal tersebut bukanlah sebuah kesalahan karena memiliki dasar hukum. Namun, tentu saja, perkara ini telah mencederai kepentingan stakeholder penghasil. Mengingat kerja keras mereka untuk menghasilkan produk yang memberi uang banyak pada negara malah dikhianati dengan diambilnya anggaran untuk mereka.

Sejak dulu, penggunaan DBHCHT untuk sektor pertanian dan industri sudah dirasa kurang. Beban petani terkait bibit dan modal tanam, ditambah perkara ekstra tatkala musim tidak baik amat jarang dibantu oleh DBHCHT. Pun dengan industri kecil yang (mungkin) malah tidak merasakan apa-apa dari DBHCHT.

Sudah tidak banyak mendapatkan jatah DBHCHT, kini mereka harus mengelus dada (lagi) karena dana yang sudah sedikit itu, harus kembali dibagi untuk jatah kesehatan. Jatah yang sudah kecil itu, justru diselewengkan dengan regulasi yang membuat mereka makin tidak merasakan hasil dari dana yang turut mereka hasilkan.

Baca Juga:  Kretek Menghidupi Para Pelaku Usaha Mikro, Rokok Elektrik Hanya Segelintir Orang

Sekali lagi, penggunaan dana cukai untuk jaminan kesehatan bukanlah suatu permasalahan. Hanya saja, daripada menggunakan DBHCHT untuk hal tersebut, lebih baik negara sedikit berbaik hati membagi 98% dana yang besarnya bukan kepalang itu. Daripada dana buat petani yang sudah kecil menjadi semakin kecil, kan tinggal gunakan dana yang ada di pusat.

Sialnya penyelewengan dana seperti ini, meski legal, amatlah disenangi oleh rezim kesehatan dan pemerintah pusat. Tanpa perlu berbagi anggaran, pemerintah pusat lebih senang melihat para petani dan pelaku industri kita sengsara. Baik melalui regulasi, atau menyelewengkan dana yang seharusnya mereka terima.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit