Di Indonesia, konsumen rokok boleh jadi merupakan konsumen barang legal yang paling menderita. Kenapa demikian? Ya, perokok di Indonesia diposisikan serba kesulitan. Mulai dari ruang untuk merokok hingga diskriminasi sosial dalam bentuk stigma negatif. Kesulitan menjadi perokok di Indonesia semakin lengkap dengan tumbuh kembang Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah.
Kalau mau jujur, sebenarnya ada beberapa gagasan baik yang melandasi lahirnya Perda KTR. Di antaranya adalah gagasan untuk menyediakan ruang publik yang bebas asap rokok bagi masyarakat yang bukan perokok. Selain itu, Perda KTR juga menjadi panglima dalam mengontrol perilaku bandel oknum perokok yang kurang edukasi. Sialnya, gagasan yang sebenarnya positif itu cenderung disusupi kepentingan lain yang diskriminatif.
Perda KTR harusnya berorientasi pada kesetaraan hak (antara perokok dan bukan perokok). Mereka yang bukan perokok mendapat jaminan bebas asap rokok, dan para perokok juga harus mendapat ruang merokok yang dijamin oleh regulasi yang sama. Pertanyaannya: apakah semua Perda KTR telah mengatur poin terkait keberadaan ruang merokok? Jawabannya, tidak!
Pada poin inilah Perda KTR dinilai diskriminatif. Setidaknya begitu menurut saya. Semangat utama dari Kawasan Tanpa Rokok sejatinya adalah pembagian hak; antara perokok dan bukan perokok. Pada praktiknya, semangat ini bergeser menjadi pelarangan pada aktivitas merokok. Sungguh amanat Undang-undang jadi semakin bias dengan pergeseran semangat ini.
Implikasi dari pergeseran semangat ini adalah cara pandang awam yang diskriminatif pada perokok. Hasil dari mengkonsumsi berbagai kampanye hitam tentang rokok, masyarakat semakin membenci rokok. Para perokok pun ‘terasing’. Padahal, mengakomodir hak perokok bukan hanya diwujudkan dengan ketersediaan ruang merokok saja, tapi juga menghormati pilihan seseorang menjadi perokok, mengakui bahwa merokok adalah aktivitas legal.
Dalam kondisi ini Perda KTR memainkan peran penting. Sanksi pidana dan denda yang dijadikan sebagai ancaman semakin menempatkan perokok dalam jurang stigma. Sudah banyak kritik pada muatan sanksi pidana dalam Perda KTR. Faktanya, beberapa daerah justru menyusul dan membuat regulasi dengan kontroversi serupa.
Mengenai sanksi denda juga cukup mencengangkan. Kita bisa melihat betapa perokok semakin dijepit lewat ancaman denda yang fantastis. Di Sumatera Barat dan Parepare, misalnya, Perda KTR setempat memuat ancaman denda Rp 50 juta bagi siapapun yang merokok di KTR. Ya, anda gak salah baca. Lima Puluh Juta Rupiah. Di Kota Yogyakarta, merokok di KTR terancam denda Rp 7,5 juta. Di Bekasi besaran ancamannya adalah denda Rp 1 juta.
Saya sepakat bahwa ruang perokok harus dikondisikan agar menjaga hak masyarakat lain yang tidak merokok. Saya juga tidak membenarkan para perokok yang ngudud sembarangan dan sesuka hati. Tapi, pemerintah bisa lebih bijak dan adil dalam mewujudkan kesetaraan hak masyarakat.
Melihat angka-angka fantastis dalam sanksi Perda KTR, saya kadang berfikir, kalau sampai ada yang dijatuhi sanksi denda sebesar itu, uangnya buat apa, yha?
Hmm..
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022