
Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) adalah salah satu dari sekian banyak regulasi yang lahir di tengah kontroversi. Beberapa kejanggalan dan tendensi diskriminatif bagi perokok terasa nyata dalam batang tubuh aturan ini, meski ada juga poin-poin yang dirasa baik. Bogor adalah kota yang paling lantang menggalakkan Perda KTR.
Di kota hujan ini, Perda KTR memuat ketentuan tentang larangan memajang rokok di etalase. Poin larangan ini menimbulkan reaksi dari industri dan pelaku sektor usaha ritel. Omset mereka menurun drastis akibat keberadaan poin larangan tersebut. Sebagai informasi tambahan, rokok adalah penyumbang pemasukan tertinggi bagi negara dari sektor cukai.
Kalau mau lebih jujur, berbicara Perda KTR secara umum tidak hanya menimbulkan dampak bagi industri dan perokok secara umum. Selain itu, Perda KTR juga berdampak pada pedagang mikro seperti asongan. Penjualan mereka menurun akibat larangan untuk merokok di berbagai lokasi di Kota Bogor, secara otomatis pendapatan mereka ikut terjun hampir menyentuh nadir.
Rokok adalah produk yang dipungut cukai. Bahkan, cukai rokok adalah penyumbang pemasukan terbesar bagi negara dari sektor cukai. Artinya, rokok adalah produk legal yang sudah lolos regulasi minimum. Diskriminasi bagi rokok dan konsumen rokok di Indonesia adalah ironi di negeri hukum.
Walikota Bogor, Bima Arya, adalah salah satu dari sekian kepala daerah yang memang kerap menunjukan ketidaksukaan pada rokok dan perokok. Bahkan dengan penuh percaya diri Bima Arya menyatakan ingin membuat perokok di Kota Bogor merasa tersiksa. Padahal, rokok menjadi salah satu unsur yang menopang beberapa pembiayaan penyelenggaraan negara ini. Bisa jadi rokok punya andil dalam pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang ada di Kota Bogor.
Kembali menyoal pelarangan memajang rokok di rak etalase ritel. Anggota Komisi VI Fraksi PDIP, Aria Bima, melancarkan protes. Ia menuding Revisi Perda KTR Bogor justru akan menghambat investasi dan target penerimaan negara di daerah tersebut. Menurutnya, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan; perburuhan, kesehatan, industri, perkebunan dan aspek lain yang berkaitan. Membuat regulasi hanya berdasar ketidaksukaan pada satu kelompok adalah manifestasi nyata dari kegagalan seorang pemimpin untuk berlaku adil.
Sebelumnya, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Rudy Siregar, mengatakan pengusaha seharusnya dilibatkan dalam proses membuat suatu kebijakan. Dia menilai, masyarakat dan pengusaha belum mendapat sosialisasi terkait Perda KTR di Bogor. Bukan mau berpihak pada satu kelompok, tapi, ya, namanya regulasi publik harus melibatkan publik pula.
Terakhir, kalau memang Kota Bogor ingin bebas dari rokok, ya, gampang saja. Silahkan larang rokok masuk ke wilayah Bogor, tak perlu regulasi menutup etalase rokok dengan tirai. Ini konyol. Jika memang tujuannya adalah untuk menekan jumlah perokok pemula, sebagai anak yang polos saya justru semakin penasaran pada isi tirai.
Keadilan harus ditampilkan setelanjang-telanjangnya. Siapa yang tidak suka dengan ketelanjangan?
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022