Press ESC to close

Peran Serta Masyarakat Dalam Penyusunan Perda Adalah Kunci Rasa Adil Bagi Semua Pihak

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely – Lord Acton

Sebagaimana makna kutipan di atas bahwa kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan absolut pasti dipersalahgunakan. Praktik berkuasa macam ini (baca: membuat peraturan sewenang-wenang tanpa melibatkan peran serta masyarakat) sudah sering kita temui, terutama pada rezim Orde Baru–yang akhirnya harus tumbang oleh karena gerakan massa.

Soeharto, pada saat berkuasa, dianggap sebagai contoh pemimpin yang otoriter dengan kekuasaan yang absolut. Alih-alih melibatkan partisipasi masyarakat, berbagai kebijakan lahir sepihak (top down). Kekuasaan terpusat. Represifitas kerap terjadi. Betapa mengerikannya kondisi tatanan yang dimonopoli oleh satu kelompok otoritatif. Setidaknya begitu kata para senior yang terhormat aktivis 98.

Hari ini, dimana reformasi telah menginjak usia 20 tahun, praktik penyalahgunaan kekuasaan tak sepenuhnya hilang dari bumi Indonesia. Kekuasaan kini terdistribusi, tak lagi terpusat, namun masih banyak regulasi yang lahir tanpa melibatkan peran serta masyarakat sebagai objek yang akan diatur nantinya. Semakin ironis ketika melihat fakta bahwa tak sedikit masyarakat yang diam dan menerima kesalahan ini atau bahkan turut serta melanggengkannya.

Baca Juga:  Kenaikan Tarif Cukai Rokok Picu PHK Bagi Buruh

Salah satu regulasi yang lahir tanpa melibatkan peran masyarakat adalah Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Di Kota Bogor, misalnya, Perda KTR memuat ketentuan tentang larangan memajang rokok di etalase. Poin larangan ini menimbulkan reaksi dari industri dan pelaku sektor usaha ritel. Omset mereka menurun drastis akibat keberadaan poin larangan tersebut. Sebagai informasi tambahan, rokok adalah penyumbang pemasukan tertinggi bagi negara dari sektor cukai.

Sebenarnya, berbicara Perda KTR secara umum tidak hanya menimbulkan dampak bagi industri. Selain berdampak pada perokok secara umum, Perda KTR juga berdampak pada pedagang mikro seperti asongan. Penjualan mereka menurun akibat larangan untuk merokok di berbagai lokasi di Kota Bogor. Andai kucing di jalanan itu punya uang dan merokok, pendapatan para pedagang asongan mungkin bisa tetap stabil.

Belum lagi jika kita menilik aspek legalitas. Rokok adalah komoditas yang dipungut cukai, artinya rokok adalah barang yang legal untuk dikonsumsi. Diskriminasi ruang bagi perokok adalah sebuah upaya merusak marwah suci legalitas. Walikota Bogor bahkan tak sungkan menyebut rencananya untuk membuat perokok di Kota Bogor merasa tersiksa.

Baca Juga:  May Day dan Kretek

Selanjutnya, kita tinggal menanti “siksaan” apalagi yang sudah disiapkan oleh Bima Arya bagi para perokok di Kota Bogor. Semoga dari semua rencananya tak ada ide untuk memaksa perokok menelan asap rokok sendiri. Semoga.

Setiap regulasi, termasuk Perda KTR, baiknya tidak menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi dan sosial masyarakat yang sudah berjalan. Dampak positif hanya akan lahir dari niat dan cara berpikir yang positif. Sialnya, kekuasaan cenderung mengesampingkan nalar dalam berpikir. Mengesampingkan ide dan aspirasi masyarakat adalah salah satu wujud konkrit praktik kekuasaan yang telah disalahgunakan.

Kalau sudah begini, apa guna reformasi?

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd