Saya kira semua orang bakal bersepakat bahwa anak-anak memang belum boleh merokok. Baik yang tidak ataupun merokok bakal berpendapat demikian. Jadi, tidak tepat kiranya jika seseorang berpandangan bahwa perokok itu mendukung perokok. Sungguh tidak tepat.
Tapi tentu saja, dengan perspektif yang berbeda, pandangan perokok terkait hal ini lebih banyak menyangkut perkara kesadaran dan tanggung jawab sosial. Anak-anak atau remaja, yang belum berusia 18 tahun, belum diperbolehkan merokok karena mereka memang belum cukup umur. Belum punya mental yang cukup untuk bertanggungjawab atas konsumsi suatu barang bernama rokok.
Rokok adalah satu barang konsumsi yang punya potensi mengganggu kenyamanan orang lain. Jadi, jika mau mengonsumsinya, seseorang harus punya kesadaran akan tanggung jawab yang tinggi untuk tidak mengganggu orang lain. Sederhananya begitu.
Masalahnya, kebanyakan orang yang merokok di bawah umur justru melakukan berbagai perilaku yang mengganggu orang lain. Mulai dari buang puntung sembarangan, merokok di angkutan umum, juga merokok di tempat umum dengan sembarangan. Kami kira, persoalan inilah yang kemudian membuat anak-anak belum boleh merokok.
Jika kebiasaan macam itu dipupuk sejak dini, tentu saja bakal menyuburkan segala tindakan tidak baik soal perokok. Suburnya pandangan orang bahwa perokok itu jahat dan tidak bisa bertanggungjawab muncul dari kelakuan anak-anak yang merokok plus fase lanjutan mereka; para orang dewasa yang tidak tahu aturan dan kesantunan.
Meski kita sama-sama tahu bahwa rokok adalah barang konsumsi yang memiliki risiko terhadap penyakit tertentu, bukan ini perkara utama kenapa rokok menjadi musuh bagi sebagian masyarakat. Tapi karena perilaku tidak baik dari perokok sendirilah kemudian rokok dianggap buruk dan perokok dianggap jahat.
Perkara kesehatan adalah urusan masing-masing. Dalam arti, seseorang harus tahu batasan konsumsi dan tetap melakukan pola hidup sehat jika memang tidak ingin terserang penyakit. Dan hal-hal semacam ini bukanlah menjadi persoalan utama dalam urusan buruknya pandangan seseorang pada perokok.
Saya percaya, suatu saat nanti masyarakat bakal bisa lebih terbuka jalan pikirannya tentang rokok. Tentu saja dengan syarat: para perokok harus bisa bertanggungjawab dan memiliki kesadaran untuk menjadi perokok yang santun. Selama kita bisa membuktikan bahwa orang-orang yang merokok tidak akan mengganggu kenyamanan orang-orang yang tidak merokok, impian tadi bukanlah hal yang mustahil.
Nantinya, saya kira, tidak akan ada lagi orang-orang yang menjelek-jelekkan perokok, mendiskriminasi perokok, atau memberi stigma buruk pada perokok. Tidak akan ada calon mertua yang membuat kita kaget ketika memberi pertanyaan: kamu tidak merokok kan? Juga tidak ada lagi celetuk, “daripada dibelikan rokok, mending ditabung buat biaya nikah.”
Atau nantinya, kalau (akhirnya) kita bisa menikah, tidak bakal ada pertanyaan, “memang kamu mau melihat anak atau istrimu merokok?” Hadeeeeh, kalau ada pertanyaan begini, kita jawab saja: “Selama istri saya mau, dan anak saya sudah berusia 18 tahun, saya tidak bakal melarangnya.” Ah, jadi ingin nikah.
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024