Stigma buruk terhadap rokok dan aktivitas merokok selalu saja dikait-kaitkan dengan isu kesehatan. Dampak kecanduan dan penyakit yang ditimbulkan menjadi teror yang mengusik kesadaran masyarakat dunia. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengamini seluruhnya teror yang mendiskreditkan rokok dan aktivitas merokok.
Gaya hidup masyarakat yang serba multitasking ini memang perlu dikritisi dalam beberapa konteks. Tentu tak hanya perkara pola konsumsi. Penggunaan smartphone pun sangat berpotensi mengancam kesehatan. Radiasi ponsel salah satu pencetus tumbuhnya tumor otak dan insomnia.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), bagian dari WHO, dalam ulasannya tentang bukti penggunaan smartphone, para peneliti telah mengungkapkan bahwa penggunaan smartphone memiliki kemungkinan adanya bahaya karsinogenik pada manusia.
Celakanya, terkait bahaya radiasi gelombang elektromagnetik smartphone sedikit sekali media yang mengangkat isunya. Melulu perkara rokok dan rokok saja yang dilariskan sebagai musuh bersama.
Belum lama ini telah dikembangkan satu inovasi berbasis smartphone yang konon mampu membantu orang untuk berhenti merokok. Indikasi dari dikembangkannya teknologi yang membaca sensor gerak aktivitas merokok ini berpijak pada asumsi bahwa kecanduan merokok telah merenggut banyak korban. Secara terminologi yang dibingkai dengan istilah “kecanduan” saja sudah keliru.
Merokok kerap dibingkai sebagai aktivitas yang adiktif, padahal tidak sedikit loh perokok yang bisa saja berhenti tanpa harus dibantu oleh perangkat apapun. Bisa berhenti kapanpun mereka mau. Lain itu bahaya atas penggunaan smartphone yang menjadi medium terapi berhenti merokok ini terlalu sempurna untuk dipercaya.
Jika kita membaca motif dan skema kerja rezim antitembakau yang kerap memainkan isu kesehatan sebagai dalilnya. Tak lain di antaranya adalah untuk melariskan produk terapi berhenti merokok, baik itu melalui balai-balai kesehatan, maupun produk-produk NRT (Nicotine Replacement Therapy). Jelas targetnya untuk mengusai pasar perokok.
Jika memang mereka peduli akan kesehatan masyarakat dunia, mestinya ada upaya juga untuk mengembangkan teknologi smartphone yang nol radiasi nirbahaya. Tapi apa mungkin? Biar bagaimanapun kita tahu, bahwa semua produk konsumsi pula teknologi penunjang kebutuhan manusia membawa konsekuensinya masing-masing.
Tapi apakah rezim antitembakau mau obyektif dan proporsional dalam menyikapi persoalan yang dibingkai sebagai bahaya “kecanduan”? Setidaknya mau berlaku adil bahwa ada ancaman lain yang juga berpotensi sebagai pencetus kanker di luar produk legal rokok. Bahwa ada hal yang perlu juga menjadi perhatian penting yang berkenaan dengan isu kesehatan.
Bukan tidak mungkin memang, pengembangan inovasi berbasis smartphone untuk terapi berhenti merokok ini kemudian akan dilariskan di Indonesia yang masyarakatnya cenderung latah. Dalam hal ini bukan berarti saya alergi dengan inovasi dan perkembangan teknologi. Tetapi seyogyanya masyarakat luas juga diedukasi melalui informasi yang proporsional terkait bahaya “kecanduan” yang ditimbulkan dari penggunaan smartphone yang tidak bijak. Alih-alih ingin membuat orang berhenti merokok, tetapi dampak dari bahaya kesehatan di baliknya justru diabaikan.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024