Budidaya tembakau di Bali telah mengalami catatan panjang yang terbukti dapat menghidupi para petani dan masyarakat. Tentu tak hanya menjadi sumber penghidupan petaninya saja, dari komoditas pertembakauan ini pemerintah daerah pun mendapatkan pemasukan yang cukup menggembirakan. Iya, salah satunya dari cukai rokok.
Tercatat pada tahun 2018 ini provinsi Bali mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp 1,4 miliar. Angka yang tidaklah kecil tentunya. Diakui hal itu oleh pihak Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan dan Holtikultura Bali, bahwa dana yang didapat ini dibagi-bagi lagi ke daerah-daerah penghasil tembakau di Bali.
Kabarnya dana tersebut digunakan untuk membantu meningkatkan produktivitas pertanian tembakau, di antaranya dibagikan ke daerah Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Dipakai untuk pengadaan bibit dan pupuk, pelatihan serta studi banding.
Dari empat poin pemanfaatan dana tersebut ada dua hal yang mesti ditinjau lebih lanjut, yakni pemanfaatan untuk pelatihan dan studi banding. Yang bagi saya itu tidakl terlalu krusial. Meski memang atas dalih peningkatan produktivitas bisa saja itu dibenarkan. Boleh jadi pemanfaatan untuk dua hal tersebut bukanlah klausul yang benar-benar diharapkan petani.
Jika kita melihat kinerja pemanfaatan DBHCHT yang salah satunya memang untuk meningkatkan hasil pertanian tembakau, seperti yang sudah dilakukan oleh DKPP (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian) di Probolinggo misalnya. Sebagai satu contoh yang dapat dijadikan acuan. Terbukti lebih terukur dan realistis.
Pemanfaatan dana tersebut lebih kepada pengadaan alat kerja pertanian dan pembinaan, serta hibah prasarana yang berdampak langsung. Iya tentu capaiannya demi mendapatkan target panen yang lebih berkualitas.
Hal itu dilakukan bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, namun pula berbasis perencanaan yang matang dan terukur, karena itikad yang dikedepankan adalah meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani.
Potensi lahan tembakau di Provinsi Bali sendiri tercatat sekitar 680 ha rata-rata per tahun. Tentu nilai miliaran dari cukai rokok tersebut dapat lebih menyasar pada target public goods yang bermanfaat bagi penyumbang cukai rokok, yakni konsumen.
Di sini ironisnya, konsumen rokok justru tidaklah mendapatkan perhatian atas pemanfaatan DBHCHT ini, iya terkait keberpihakan pemerintah provinsi dalam memaknai KTR (Kawasan Tanpa Rokok) misalnya. Ingat loh, perokok juga salah satu stakeholder pertembakauan yang punya andil penting dalam hal penerimaan cukai.
Terkait tiadanya upaya konkret dalam mewujudkan ruang-ruang yang memadai bagi perokok dalam mengonsumsi produk legal tersebut. Menilik lagi pemberlakuan Perda KTR di Bali yang justru berlaku diskriminatif. Di antaranya pula terkait pelarangan ritel rokok memajang produk dagangannya. Rokok yang dijual harus disembunyikan seperti halnya yang terjadi di Bogor.
Padahal jika pemerintah provinsi Bali mau berlaku fair, mestinya ritel maupun konsumen rokok juga mendapatkan perhatian yang setara dengan keberadaan produk lainnya, bukan malah didiskriminasi. Coba itu, daripada buat studi banding mending digunakan untuk membangun banyak ruang merokok yang manusiawi. Yang dari sisi itu juga dapat meningkatkan citra daerah wisata yang berkeadilan
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024