Press ESC to close

Rencana Ngawur Penghapusan Bantuan Sosial Bagi Perokok

Perokok di negeri ini agaknya akan terus menjadi golongan yang dimiskinkan oleh negara. Bagaimana tidak, ketika logika yang dipakai pemerintah untuk menekan angka kemiskinan justru berbasis paradigma yang diskriminatif. Rencana pemerintah yang ingin menghapus bantuan sosial kepada penerima PKH (Program Keluarga Harapan) yang merokok itu jelas ngawur.

Ngawurnya itu ada kesan kementang-mentangan pemerintah a.k.a penguasa sebagai pemberi bantuan sosial. Logika dalam membaca meningkatnya angka kemiskinan saja sudah keliru. Misalnya soal cara menilai daya beli masyarakat terhadap rokok, lha wong perokok bisa merokok juga tidak berarti didapat dari membeli kok. Ingat loh kultur sosial perokok di Indonesia ini unik terbilang, tidak bisa diukur secara linear dengan logika ekonomi yang diajarkan di papan tulis.

Lucunya lagi pakai dibanding-bandingkan dengan ‘lebih baik duit bantuan sosialnya dibelikan telur, beras, daging ayam atau makanan penunjang lainnya’. Sementara adanya kebutuhan belanja pulsa listrik—yang TDL-nya naik melulu—serta kebutuhan quota internet untuk masyarakat tetap ngeksis, itu tidak dihitung punya andil menganggu anggaran. Pokoknya rokok lah ya yang mengganggu anggaran belanja orang susah, dan yang bikin penerima PKH tidak pula lekas terbebas dari persoalan kemiskinan.

Iya pastinya jadi lebih ngawur juga kalau pilihan ekonomisnya; mari berlomba-lomba untuk kembali hidup di masalalu. Pergi bekerja pakai sepeda onthel dari Pamulang ke Jakarta, biar sehat berotot dan irit, peduli setan sama nasib Ojol deh. Ganti semua moda transportasi umum seturut kurikulum go green; tukar buskota dengan delman.

Baca Juga:  Perokok Menolak Takluk

Habis itu ambil cara yang lebih ekstrim, tutup semua pabrik rokok. Karena kontribusi asap rokok lebih mengancam udara dibanding populasi limbah industri dan pertumbuhan apartemen yang menggusur ruang tumbuh masyarakat. Perkara serangan migran mendadak akibat beban nasib yang terjerat skema lising di sana-sini, itu hal lain. Sudahlah, tak perlu itu dihitung sebagai faktor yang menstimulus penyakit sosial dan kemiskinan di masyarakat.

Eh tapi, penggunaan uang dari kenaikan cukai rokok tiap tahun sebetulnya untuk memakmurkan siapa? Iya saya sebagai perokok sih rela-rela saja kalau memang duit cukai rokok buat tambal-sulam kas negara, apalagi kalau memang sesuai peruntukannya, pokoknya asal dikelola dengan baiklah. Tapi tolong jangan diskriminasi perokok dong.

Niat baik pemerintah dalam kerangka peduli terhadap pendapatan penerima bantuan sosial tentu boleh-boleh saja. Tetapi kalau itu menuntut komitmen untuk berhenti merokok sampai ada ancaman penghapusan bantuan sosial, jelas kelewatan. Mau meningkat atau menurunnya angka perokok, tetap saja angka kemiskinan masih jadi mainan rezim statistik.

Baca Juga:  Melepas Stigma pada (Sebatang) Rokok

Tak dipungkiri memang akses atas pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang belakangan mengemuka dalam pemberitaan membawa dampak beruntun terhadap banyak hal. Belum lagi struktur produksi pangan di Indonesia yang juga memberi andil kenaikan harga-harga bahan pokok. Baik itu telur maupun daging ayam, kenaikannya cukup bikin puyeng masyarakat, terutama bagi yang berpenghasilan pas-pasan.

Syukurnya masih ada rokok sebagai sarana rekreatif untuk meluruhkan kepuyengan itu, meski memang harus agak diatur dalam mengonsumsinya. Tetapi kalau penerima bantuan sosial yang merokok sampai dipaksa berhenti merokok. Waduh. Kok ya orang susah untuk menikmati secuil kesenangan saja masih harus dirampas oleh aturan ngawur macam itu. Jika memang harus begitu, iya negara harus siap menerima penyusutan devisa dari konsumen rokok. Mau dapat devisa pengganti dari pasar ayam dan telek lencung gitu?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah