Press ESC to close

Pemberian ALat Produksi Pertanian di Lombok Belum Sepenuhnya Menjawab Persoalan Petani

Manfaat DBHCHT memang sudah semestinya dirasakan langsung sampai ke petani. Seperti yang terjadi di Lombok pada waktu lalu terkait pemberian alat produksi pertanian. Walau memang untuk capaian merata itu masih jauh dari harapan banyak pihak. Hal ini disebabkan adanya regulasi yang tak berpihak sepenuhnya terhadap sektor hulu industri rokok.

Sudah dapat ditengarai pasca dikeluarkannya PMK 222/2017 (Peraturan Menteri Keuangan) yang menetapkan 50% alokasi DBHCHT untuk kesehatan. Jauh dari kata memajukan sektor pertanian tembakau, petani justru mendapat porsi yang relatif kecil, karena harus pula dibagi-bagi, bahkan tak jarang jadi bancakan pemerintah daerah.

Maka bukan rahasia jika nilai pembagiannya di tiap daerah tidak sampai pada taraf yang menyejahterakan petani. Lebih mendasar lagi belum dapat menjawab cita-cita bangsa ini dalam memakmurkan petaninya. Hal itu terjadi sama di beberapa daerah penghasil tembakau lainnya.

Kepala Dinas Pertanian Lombok Barat, H. Muhur Zohri yang menyerahkan bantuan secara simbolis  di Aula Kantor Dinas Pertanian menyampaikan harapannya, agar bantuan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya demi peningkatan hasil panen tembakau. Berupa bantuan alat pertanian yang merupakan alokasi dana cukai tembakau 2018 itu, diakuinya secara langsung tidak dapat menjangkau semua kelompok tani yang berjumlah 450 kelompok.

Baca Juga:  Lebaynya BPS Terhadap Rokok dan Beras

Seperti yang kita ketahui pasca Pulau Lombok diguncang bencana alam banyak petani yang dirundung kemalangan. Proses pemulihan yang dilakukan secara bertahap menuntut perhatian tersendiri. Yang sampai kini tengah diupayakan terus oleh pemerintah daerah maupun pusat, agar para petani di Lombok dapat kembali bekerja dan hidup seperti sediakala mengelola lahan pertaniannya.

Atas dasar komposisi pembagian DBHCHT itu pula yang kemudian menjadi pembenaran atas penggunaan duit perokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Yang tentu dari sisi ini kita jadi merasa miris ketika mengetahui pemberian bantuan ke petani tidak sepenuhnya merata. Hal yang paradoks dari persoalan pemanfaatan DBHCHT sebetulnya sudah sejak lalu disuarakan oleh Komunitas Kretek.

Betapa pun niat baik yang diulungkan pemerintah daerah tetap saja terganjal oleh regulasi pembagian yang ditetapkan oleh menteri keuangan, yang nilainya mengambil setengah dari DBHCHT. Sehingga itu tidak menjawab sepenuhnya problem di hulu industri rokok, dan besar kemungkinan ini menurunkan rasa tidak percaya masyarakat tani terhadap pemerintah.

Lucunya mungkin di sini, selain bencana alam yang beruntun terjadi di Indonesia, ada bencana nyata dalam sistem ekonomi pertembakauan yang diperulah oleh kepentingan rezim antitembakau. Bagaimana tidak, narasi yang dijadikan pembenaran rezim antitembakau masihlah sama, bahwa rokok yang merupakan produk olahan tembakau adalah momok utama bagi kesehatan.

Baca Juga:  Panduan Lengkap: Cara Melembabkan Tembakau dengan Benar

Namun dalam perkara penggunaan dananya menjadi dianggap sah untuk menanggulangi ‘bencana’ dalam tubuh BPJS. Padahal jika menilik poin peruntukkan DBHCT, ada dua hal penting yang harus dipenuhi secara tepat dan terarah, yakni untuk memajukan sektor pertanian dan industrinya.

Jika memang benar pemerintah menjunjung harkat petani sebagai soko guru bangsa sekaligus pahlawan devisa. Tentu tak perlu ada ketimpangan regulasi yang mengambil porsi lebih untuk kesehatan. Kendati demikian apa yang dilakukan pemerintah daerah Lombok patut kita apresiasi, walau belum menjawab sepenuhnya persoalan yang tengah dihadapi petani tembakau.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah