Perokok sangat sering distigmakan oleh orang kesehatan sebagai kaum pesakitan. Bahwa perokok rentan terkena kanker, yang membuat BPJS harus keluar duit banyak buat mengobati penyakit ini. Karena itu, dimunculkan wacana agar perokok tak ditanggung oleh BPJS. Meskipun kita sama-sama tahu hal semacam itu adalah bentuk diskriminasi yang sangat bertentangan dengan sila kelima.
Stigma buruk terhadap rokok dan aktivitas merokok selalu saja dikait-kaitkan dengan isu kesehatan. Narasi tentang dampak kecanduan dan penyakit yang ditimbulkan menjadi teror yang mengusik kesadaran masyarakat dunia. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengamini narasi sesat pikir tersebut. Ditambah banyak pula praktisi dunia kesehatan yang tak lelah mengkampanyekan keburukan rokok, meski banyak juga penelitian yang membantah.
Tak hanya tentang fisik, rokok kini juga disebut-sebut berpotensi merusak kesehatan jiwa alias gangguan mental. Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Kota Bandung, Teddy Hidayat, menyebut bahwa secara kejiwaan kandungan dalam rokok dapat membuat perilaku konsumennya ceria. Perokok akan bahagia, nyaman dan ceria akibat rangsangan nikotin hingga meningkatnya zat dophamine di otak. Rokok disebut olehnya mengandung unsur kimia yang termasuk kategori zat adiktif. Zat adiktif tersebutlah yang beliau klaim sebagai pemicu gangguan kejiwaan.
“Kalau nanti dophaminenya turun sebaliknya seperti enggak nyaman, sedih, enggak berminat, enggak ada gairah, ngerokok lagi senang lagi,” kata Teddy Hidayat di Bandung, Senin (15/10/2018).
“Nah kalau terlalu sering begitu resamplenya untuk rokok makin banyak dan itu yang membuat kita enggak jelas. Jadi kalau mau kita bilang sih, ketergantungan rokok juga termasuk penyakit otak yang mempengaruhi perilaku dan emosi,” lanjutnya.
Bagaimana, sudah ketakutan belum, Cuk? Horor, kan?
Hmm.. kalau boleh kita simpulkan, ahli jiwa sudah pasti sehat jiwanya, toh? Ya, mosok orang sakit jiwa jadi ahli jiwa. Masalahnya adalah, argumentasi si ahli jiwa (Teddy Hidayat) itu saling bertabrakan. Dia bilang rokok bisa memicu gangguan kejiwaan. Lalu beliau juga mengatakan kalau efek kandungan dalam rokok bisa membuat konsumennya bahagia. Ya, orang waras mana yang gak mau bahagia??? Katakan, Teddy. Katakan!!!
Namun Teddy mengaku kalau PDSKJI Kota Bandung tidak akan menerbitkan himbauan larangan merokok karena masih dilegalkan oleh pemerintah. Tapi, beliau bersikukuh kalau kandungan di dalam rokok—yang dapat menanggulangi stres itu—masuk dalam kategori penyebab gangguan kejiwaan. Bahkan tak hanya zat nikotinnya, tetapi ritual merokok yang membuat orang tenang, ceria dan nyaman itu juga kriteria gangguan kejiwaan.
“Tapi saya tidak menganjurkan rokok menjadi obat. Untuk aspek kesehatannya akan menyebabkan penyakit fisik seperti kanker, stroke, paru-paru dan jantung,” jelas Teddy.
Nah, loh. Diam-diam ternyata Pak Teddy punya keahlian lain. Tak hanya ahli kejiwaan, kini dia mendadak jadi ahli fisik.
Sebenarnya saya agak kesulitan merangkai narasi ini. Bukan. Bukan karena saya perokok dan mengidap gangguan kejiwaan. Tapi, karena saya kesulitan memahami maksud dari setiap pernyataannya. Di awal dia menyebut kebiasaan merokok adalah penyakit otak. Kemudian dia bilang kalau rokok bisa menimbulkan ketenangan dan terhindar dari stres. Sedangkan stres adalah penyakit otak. Kalau rokok bisa mengobati stres, berarti rokok itu obat penyakit otak, dong? Eh, iya gak sih?
Ah, entahlah! Soal kejiwaan adalah soal mentalitas. Yang saya tahu, mentalitas perokok itu sudah benar-benar teruji ketangguhannya. Sudah berulang kali menghadapi teror kesehatan dan berbagai diskriminasi, ngudud ya tetap lanjut. Bahkan, secara konsisten perokok tetap berkontribusi bagi pemasukan negara.
Kalau memang merokok itu penyakit jiwa, ya, berarti BPJS Kesehatan sudah dibiayai oleh orang gila. Hihihi…
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022