Press ESC to close

Jika Industri Hasil Tembakau Mati, Apakah Nasib Para Pembenci Rokok Bakal Lebih Baik?

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia telah memberi kontribusi besar bagi peradaban masyarakat serta devisa negara. Terhitung bilangan abad sudah produk rokok dalam negeri dari sektor IHT ini membantu perekonomian banyak pihak. Tak hanya di hulu, yakni pertanian tembakaunya, cengkeh sebagai salah satu komponen utama pada kretek sebagai rokok khas bangsa ini nyata membuktikan kedigdayaannya.

Di sektor pertembakauan, bukan hanya petani saja yang diuntungkan dari emas hijau yang mereka tanam, ada sekian banyak buruh tani yang pula terlibat. Belum lagi jika kita lihat pada rantai perdagangannya. Boleh dikata industri hasil tembakau di negeri ini termasuk industri padat karya yang tak lekang diterpa sekian badai krisis.

Mungkin sejarah tidak akan mencatat nama Nitisemito jika produk kretek yang ditemukan Haji Djamhari itu tidak sukses dilariskan secara baik dan berterima dengan selera masyarakat. Penting untuk dicatat, produk kretek adalah komoditas yang konten serta pasarnya tersedia di tanah air tercinta ini.

Banyak tokoh bangsa ini secara langsung mengakui kedigdayaan kretek sebagai komoditas yang bernilai unggulan. Bahkan pada masa kejayaan selanjutnya, industri hasil tembakau dalam negeri mampu mengantar sejumlah nama atlet mencetak prestasi gemilang di kancah bergengsi dunia. Sektor industri padat karya ini juga membantu sejumlah putera-puteri berprestasi melalui bea siswa pendidikan.

Baca Juga:  Konspirasi Global Jatuhkan Sitti Hikmawatty dari Tahta KPAI

Konyolnya di sini, ketika kepentingan asing bermain melalui instrumen kebijakan dan politik dagang. Melalui penyederhanaan tarif cukai, dimana dalam penerapannya jelas berisiko buruk terhadap kelangsungan mata rantai IHT, yang sebagian besar dampaknya bakal dirasakan petani. Belum lagi efek langsungnya terhadap penerimaan cukai bagi negara.

Mudiyati Rahmatunnisa, dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran, menilai kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 146/2017 jelas membuat IHT semakin terpuruk, yang pada gilirannya akan mengurangi serapan hasil petani tembakau oleh industri. Terkait hasil penyederhanaan struktur tarif cukai ini akan memperlambat volume industri dan juga memperlambat pendapatan negara atas cukai IHT.

Sejak 2012 berdasar data Kementerian Keuangan, pertumbuhan volume produksi rokok memang terus melambat. Volume produksi IHT pada 2012 tercatat 325 miliar batang. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi IHT masih tumbuh setiap tahun, meski dalam tren melambat. Pada 2015, produksi IHT sempat menyentuh 348 miliar batang. Pada 2016, volume produksi rokok turun menjadi enam miliar batang atau 1,72 persen menjadi 342 miliar batang dari realisasi 2015. Volume produksi diperkirakan turun kembali pada 2017 menjadi 331 miliar batang, dan diproyeksikan turun lagi menjadi 324 miliar batang pada 2018.

Baca Juga:  Praktik Jual Pita Cukai Bekas Makin Marak, Di Mana Penegak Hukum?

Gambaran data tersebut  dapat kita tengarai terjadinya sejak kepentingan rezim antitembakau begitu masif bermain lewat isu kesehatan. Dalih pengendalian tembakau justru menyimpan bom waktu ke dalam instrumen pembatasan dan serangkai upaya diskriminatif yang menekan perokok untuk sasarannya beralih konsumsi. Dari menghisap rokok menjadi mengonsumsi produk olahan berbasis nikotin (NRT).

Yang pada gilirannya nanti perokok sebagai tumpuan kelangsungan pasar IHT dalam negeri menjadi beralih menjadi konsumen produk yang telah disiapkan, jelas yang paling sangat terpukul adalah industri rokok skala kecil yang kehilangan pasarnya. PHK masal dan kebangkrutan negara dari penerimaan cukai akan memberi dampak depresi ekonomi. Satu lagi, jika IHT dalam negeri mati, apakah nasib para pembenci rokok bakal lebih baik? Wallahu a’lam bishawab.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah