Press ESC to close

Kenapa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Berbeda Pandangan soal Rokok?

Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah dua organisasi masyarakat dengan basis masyarakat muslim terbesar di Indonesia. Yang pertama dianggap sebagai kelompok yang kental dengan tradisi dan budaya, sementara yang lain didaku sebagai kelompok yang lebih modern. Meski menganut mazhab yang sama, tapi ada perbedaan yang begitu kentara diantara keduanya.

Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai kelompok yang menolak segala perbuatan berbau bidah. Hal ini sendiri berarti menolak aktivitas yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah. Hal-hal seperti tahlillah atau selametan adalah dua contoh kegiatan yang tidak dilarang dilakukan oleh kelompok ini.

Berbeda dengan Muhammadiyah, NU justru mengakomodasi aktivitas keagamaan yang lekat dengan tradisi dan budaya. Selametan, misalnya, menjadi sebuah ajang untuk mendoakan sesuatu bersama agar yang ‘diselamatkan’ bisa mendapat hal yang baik. Pun dengan aktivitas tahlillah, yakni mendoakan agar orang yang meninggal bisa diterima dengan baik disisiNya.

Berdasar cara pandang Muhammadiyah, pelarangan terhadap tahlilan juga yasinan ditujukan dengan maksud, menolak aktivitas tersebut karena dilekatkan dengan ritual selamatan. Hal ini disebabkan ritual ini lekat dengan budaya animisme dan dinamisme yang mengakar pada kehidupan masyarakat. Sementara NU, meyakini bahwa tahlilan dan yasinan (termasuk selametan) bukanlah hal yang menyekutukan Tuhan.

Baca Juga:  Duri Dalam Daging dan Mitos Rokok Murah di Indonesia

Pun ketika kita membicarakan rokok, pandangan kedua lembaga ini pun berbeda. Muhammadiyah dengan tegas menyatakan hukum rokok adalah haram. Sementara di NU sendiri, hukum rokok adalah mubah.

Muhammadiyah mengharamkan merokok karena dianggap kategori perbuatan melakukan khabaa’its (kotor/najis) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al a’raf (ayat) 157. Karena dianggap sebagai barang yang merusak inilah, kemudian  rokok diharamkan oleh Muhammadiyah.

Sementara dalam pandangan NU, hukum rokok menjadi mubah (dibolehkan) karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. Kemudian, rokok dianggap membawa mudarat yang relatif lebih kecil dan tidak signifikan untuk menjadi haram.

Pada konteks ini, terlihat satu perbedaan yang signifikan dari kedua lembaga dalam menentukan hukum suatu hal. Pertama, Muhammadiyah lebih memfokuskan bahasan terkait dampak rokok hanya dari satu sisi, yakni kesehatan. Bahwa merokok dapat menyebabkan sakit, memang betul. Tapi Muhammadiyah sendiri tidak membaca konteks bahwa rokok membawa manfaat yang lain untuk masyarakat.

Dan hal inilah yang menjadi bagian dari cara pandang NU ketika mengambil sikap. Mengingat besarnya manfaat rokok untuk masyarakat, baik secara ekonomi ataupun yang lain, terlalu sempit jika kemudian rokok dijadikan haram karena punya faktor risiko terhadap penyakit tertentu. Selain itu, rokok sendiri tidak bisa serta merta dijadikan faktor tunggal terhadap penyakit mengingat ada begitu banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sakit.

Baca Juga:  Ke Mana Larinya Cukai dan Pajak rokok?

Perbedaan melihat keseluruhan konteks inilah yang menjadikan cara pandang kedua organisasi ini. Ketika Muhammadiyah hanya fokus pada titik tertentu, NU justru membaca keseluruhan konteks agar sikap yang diambil benar-benar sesuai. Dan itu jugalah yang membedakan, kenapa Muhammadiyah bersikap begitu membenci perokok. Karena mereka hanya mampu melihat persoalan rokok ini dari sisi kesehatan, tapi tidak yang lain.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit