Press ESC to close

Lagi, Hukuman Memakan Tembakau Terjadi di Sekolah

Akhir bulan September yang lalu, SP, siswa kelas IX SMP Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Fransiskus Xaverius Waghete, beserta sejumlah rekannya dihukum oleh guru di sekolahnya. Pasalnya, SP dan teman-teman kepergok merokok berjamaah. Hukuman yang mereka terima adalah memakan tembakau.

Dalam pernyataan pers, Kepala Sekolah Yohakim Tekege bersikap seolah tidak ada yang salah dengan apa yang telah dilakukan. Menurutnya, hukuman mengunyah tembakau diberikan agar SP dan kawan-kawan bertobat dan tidak mengulangi kesalahannya. Sementara SP dikabarkan harus dilarikan ke RSUD Paniai didampingi oleh orangtuanya.

“Dan ini cara didik ciri khas sekolah YPPK,” ujar Yohakim.

Sebenarnya, hal yang menimpa SP dan kawan-kawan bukanlah yang pertama. Sebelumnya, hal serupa pernah terjadi juga di Sukabumi. Aneh memang ketika seorang pengajar memutuskan untuk menghukum siswa yang kepergok merokok dengan hukuman mengunyah tembakau. Mereka seperti menyiram api dengan minyak sambil berharap api akan padam.

Alasan seorang guru menghukum siswa yang kepergok merokok kurang lebih adalah karena faktor kedisiplinan. Selain itu, faktor risiko kesehatan juga jadi alasan lain mengapa seorang pelajar dinilai belum layak untuk merokok. Masalahnya, bukankah hukuman memakan tembakau justru menimbulkan risiko yang sama dengan aktivitas merokok? Atau sang guru menganggap bahwa memakan tembakau adalah treatment ampuh menghilangkan kebiasaan merokok?

Baca Juga:  Menyoal Label Peringatan Pada Rokok Elektrik

Kita sama-sama tahu bahwa anak di bawah 18 tahun memang belum waktunya untuk merokok. Rasanya akan lebih bijak jika seorang guru membimbing dan memberi penjelasan pada siswanya bahwa mereka bisa tetap merokok, tapi nanti, kelak ketika mereka sudah berusia 18 tahun. Bukan malah ‘menyiksa’ siswa yang jelas-jelas butuh bimbingan.

Harus diakui, kebiasaan merokok masih banyak terjadi di kalangan anak-anak, khususnya anak sekolah. Dari fenomena ini kita belajar bahwa orang tua harus lebih proaktif dalam menjaga dan melindungi anaknya. Akan sangat sulit bagi kita menuntut pertanggungjawaban dari seorang anak yang bahkan belum mampu untuk memahami tindakannya sendiri.

Selain itu, pemerintah dan orang tua juga perlu memperhatikan pola edukasi yang persuasif agar tak terjadi peningkatan prevalensi perokok pemula.  Selama ini mereka (anak-anak) hanya ditakut-takuti oleh cerita seram tentang rokok dan dilarang tanpa benar-benar dijelaskan, kenapa mereka belum boleh merokok. Akibatnya, pelarangan tersebut justru mendapat tantangan balik dari anak-anak yang tak suka dikekang. Akhirnya, mereka pun mencoba merokok, yang kalaupun ketahuan dan dimarahi, jiwa rebell sudah mereka tunjukan pada orang tua.

Baca Juga:  Nasib Industri Kretek Indonesia di Tangan Presiden Baru

Tidak ada yang bisa dibenarkan dari seorang anak kecil yang merokok. Tentu yang  dimaksud anak kecil di sini adalah anak di bawah usia 18 tahun. Jika sudah di atas itu, seseorang sudah dikategorikan sebagai insan yang dewasa dan mampu mempertanggungjawabkan pilihan bebasnya sendiri. Termasuk merokok.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd