Press ESC to close

Menangkap Potensi Pasar Rokok Ilegal dan Kemungkinan Lain

Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan salah satu produk industri padat karya yang sudah dikenal sejak lama. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia masih mempertahankan untuk memproduksinya. Di luar itu masih banyak pula industri skala kecil maupun menengah yang tetap melariskan produk SKT sebagai andalannya.

Menengok secuil pembabakan sejarah industri rokok di Indonesia, produk SKT terbilang pelopor dalam mengenalkan cita rasa kretek di pasar dunia. Dari tangan Nitisemito produk SKT macam Tjap Bal Tiga menjadi inspirasi bagi kemunculan produk kretek tangan selanjutnya. Industri kretek di Indonesia mendapatkan posisi tersendiri yang mampu menjawab persoalan ekonomi bangsa.

Penikmat produk SKT pun tidak sedikit yang masih loyal mengonsumsinya sampai saat ini. Meski di masa sekarang, konsumen rokok sebagian besar direbut oleh pasar rokok kategori LTLN (Low Tar Low Nicotine), yang umumnya bergenre kretek mild. Keberadaan produk SKT terbilang masih digemari oleh kalangan masyarakat berkocek terbatas. Selain karena harganya yang murah, sebagai produk legal kretek tangan pula mampu menjawab selera khas pasarnya.

Tak dipungkiri memang, banyak perusahaan kecil yang mengalami dampak yang ditimbulkan dari perang dagang global. Yang salah satu proxy war-nya memanfaatkan isu kesehatan serta berbagai bentuk regulasi yang diskriminatif. Kenaikan tarif cukai  tiap tahun salah satu bagian dari agenda tersebut. Sehingga hal itu mendorong maraknya peredaran rokok tanpa cukai di pasaran.

Baca Juga:  Yang Tidak Tepat dari Aturan Larangan Merokok Saat Berkendara

Konsumen rokok tanpa cukai atau yang biasa disebut rokok ilegal ini terbilang pasar yang menjanjikan. Lantaran harganya yang jauh lebih murah dari harga rokok konvensional. Anggota Komisi XI Misbakhun mengatakan, bahwa pemerintah perlu memberikan insentif kepada industri SKT terutama golongan kecil dan menengah, yang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualifikasi industri SKT. Bentuk insentifnya yaitu dengan memberi kelonggaran batasan produksi bagi industri golongan II dan III (kecil dan menengah).

Ditengarai dari sisi ini, memanglah perlu adanya keberpihakan pemerintah dalam menjaga keberadaan industri kecil untuk tetap memberi andil pada pendapatan negara. Terutama lagi dalam perannya sebagai industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Namun impilkasi dari tawaran Misbakhun bukan berarti tidak berisiko. Sebab bukan mustahil, ketika kuota SKT berlimpah di pasaran dan bilamana tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, maka industri juga yang bakal merugi. Boleh saja tawaran insentif itu dianggap sebagai cara jitu untuk mendongkrak pendapatan negara. Tetapi tidak menjamin sepenuhnya keuntungan yang lebih baik juga bagi industri. Karena cukai rokok di awal harus dibayar penuh oleh industri sesuai kuota yang akan diproduksi.

Baca Juga:  Yang Perlu Diperhatikan Pemerintah Sebelum Menaikkan Tarif Cukai Rokok

Nalar kita tertantang untuk kritis dalam membaca lapis motif dan dampak yang ditimbulkan dari niat baik wakil rakyat tersebut. Apalagi ini tahun politik, setiap politisi punya ciri kegenitannya sendiri. Bukankah telah kita sama-sama ketahui, bahwa ada perkara yang lebih krusial untuk pula dialamatkan kritiknya ke pemerintah, yakni perkara tarif cukai yang terus saja dibikin naik tiap tahun. Sekali lagi perlu diingat, bahwa kenaikan tarif cukai tiap tahun adalah bagian dari agenda rezim antitembakau dalam membunuh pelan-pelan sektor Industri hasil Tembakau (IHT) di Indonesia. Selain pula salah satu penyebab dari maraknya peredaran rokok ilegal.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah