Press ESC to close

Pelarangan Memajang Rokok di Kota Depok, Diskriminasi yang Mengulang Kekonyolan

Diskriminasi terhadap produk legal yang kita kenal sebagai rokok masih saja terjadi. Salah satunya terkait pelarangan mengiklankan rokok serta pelarangan memajang  rokok secara terbuka, modus yang terdahulu pernah diberlakukan di Kota Bogor. Iya tak mau kalah dengan Kota Bogor, hal serupa diterapkan pula di Kota Depok dengan dalih yang sama.

Sejumlah ritel yang memajang rokok dengan terpaksa raknya harus ditutupi tirai. Dalihnya agar perokok pemula ataupun anak di bawah umur tidak dapat mengakses produk legal tersebut. Seturut itu penanda yang boleh diterakan pada tirai  hanyalah sekalimat; ‘di sini tersedia rokok’. Upaya ini dipandang tepat lantaran adanya amanah dari Perda KTR yang menerakan ketentuan tersebut.

Celakanya bahkan sampai pada penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Keberadaan rokok yang berstatus produk legal di sini tidak lagi mendapatkan posisi yang setara dengan produk legal lainnya. Jika dalih yang sama digunakan, mestinya penjualan alat kontrasepsi juga patut diberlakukan serupa. Anak-anak jelas tidak dibenarkan mengakses kondom ataupula produk lain yang berpotensi memicu anak di bawah umur melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan orang dewasa.

Baca Juga:  Gerakan Literasi dan Donasi Buku dari Tembakau

Diskriminasi yang dilakukan Pemkot Depok beserta jajarannya yang dalam kerangka menurunkan angka perokok jelas bukan tidak menimbulkan masalah. Masalah pertama, secara nyata akan berdampak terhadap pendapatan daerah dari pajak iklan dan penjualan rokok. Masalah kedua, penerapan peraturan itu membuktikan adanya diskriminasi dan ketidakbecusan orang tua dalam mengedukasi anak. Karena untuk urusan mencegah anak di bawah umur merokok, katakuncinya ada di edukasi. Orang tua memiliki otoritas penuh untuk menjelaskan bahwa rokok hanya boleh dikonsumsi orang dewasa dengan segenap tanggung jawab. Edukasi ini penting agar tidak terjadi bentuk penyimpangan yang dilakukan anak. Membeli dan menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi.

Lebih jauh peraturan yang akan menyasar pula penerapannya ke warung-warung rokok pinggir jalan dan pasar tradisional di Depok sama halnya dengan membunuh secara pelan sumber pendapatan pedagang. Jika memang demikian, Pemkot Depok sama halnya telah menghambat tumbuh kembang ekonomi serta kesejahteraan masyarakatnya.

Jika peraturan itu diterapkan di area pendidikan ataupun rumah sakit masihlah kita bersepakat. Alangkah baiknya lagi jika diatur batas jarak keterjangkauannya dari tempat-tempat yang tercantum dalam poin Kawasan Tanpa Rokok. Bukan dengan serta merta membuang keberadaan rokok dan warungnya.

Baca Juga:  Kretek Menghidupi Para Pelaku Usaha Mikro, Rokok Elektrik Hanya Segelintir Orang

Keberadaan rokok di Indonesia tentu kita tahu sendiri, yang oleh masyarakat pembencinya kerap distigma negatif, sementara dari cukainya yang triliunan rupiah mampu menjadi ‘obat kuat’ bagi persoalan defisit BPJS. Perda KTR yang diterapkan di berbagai daerah selama ini justru ambivalen dengan kenyataan bahwa sumbangsih dari sektor rokok memberi manfaat besar bagi masyarakat.

Biar bagaimanapun rokok adalah barang legal, tidak semestinya diberlakukan seperti itu. Sebagai produk legal, posisi rokok sudah semestinya setara dengan produk konsumsi lainnya. Jangan karena ketidakbecusan pemerintah maupun orang tua dalam mengedukasi anak,  lantas saja rokok dan iklannya yang disalahkan diatur-atur demikian absurd.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah