Batalnya pemerintah menaikkan tarif cukai tembakau tentu menjadi kabar gembira bagi para pemangku kepentingan di sektor tembakau. Yang dengan demikian setidaknya masih bisa kita temukan sisi bijak pemerintah atas keputusan tersebut. Meski kita sendiri tentu bertanya-tanya, apa sebetulnya yang mengalasani tidak dinaikkannya tarif cukai tembakau untuk 2019.
Padahal September lalu pemerintah berencana menaikkan tarif cukai seperti tahun-tahun sebelumnya. Iya inilah kali pertama pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok dalam 10 tahun terakhir. Seperti yang kita ketahui, selama ini pemerintah menaikkan tarif cukai rokok dengan besaran rata-rata 10,5 persen.
Tahun lalu saja pemerintah memutuskan tarif cukai rokok sebesar 10,4 persen dan itu disertai dengan empat alasan: yakni untuk mengendalikan konsumsi rokok, mencegah peredaran rokok ilegal, memperhatikan dampaknya terhadap kesempatan kerja, serta imbas terhadap penerimaan negara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri tidak membeberkan secuil pun alasan atas keputusan tidak menaikkan tarif cukai, yang karena hal itu pula kemudian memunculkan sejumlah spekulasi. Terutama bagi kalangan antirokok yang selama ini gencar mendorong kenaikan tarif cukai, iya dengan dalih jika cukai terus naik maka prevalensi merokok akan menurun, karena harga rokok menjadi lebih mahal.
Meski tarif cukai tidak naik, harga rokok iya memang sudah mahal. Banyak kalangan berspekulasi atas keputusan pemerintah tersebut, yang secara permukaan dibaca sebagai upaya mendulang simpati masyarakat akar rumput di tahun politik. Iya boleh-boleh saja spekulasi itu muncul sebagai asumsi untuk membaca kemungkinan lain, sebagaimana saya menyatakan hal-hal yang perlu diperhatikan pemerintah sebelum menaikkan tarif cukai rokok. Toh yang saya nyatakan bukan tanpa dasar pembacaan atas persoalan yang terjadi.
Tentu tidaklah sedikit orang yang menalar dampak yang saya sebut sebagai gejolak sosial jika terjadi kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Pernyataan yang berbasis logika sederhana saja, ketika beban masyarakat semakin bertambah iya masyarakat punya caranya sendiri untuk protes. Bukan hal yang sepenuhnya pasti juga, yang jelas ada sesuatu yang lebih krusial dalam pertimbangan pemerintah.
Berdasar kemampuan nujum saya yang semena-mena selama ini, kiranya ada dua hal yang mengalasani kenapa pemerintah memutuskan tetap menggunakan tarif yang berlaku tahun ini. Pertama, pemerintah sangat paham betul bahwa masyarakat tidaklah punya banyak keinginan, selain satu keinginan, yaitu: keinginannya terpenuhi. Satu keinginan itu adalah dengan tidak semakin bertambah beratnya beban hidup sehari-hari. Itu saja, tak kurang.
Kedua, tentu kita mendapatkan pelajaran berharga dari problem BPJS yang beberapa kali mengalami defisit karena ditengarai terjangkit suatu ‘penyakit’ dalam sistem penyelenggaraannya. Jika pun tahun depan hal serupa masih terjadi, pastinya pemerintah punya jawaban yang pas untuk menyentil perkara itu.
Bahasa sederhananya mungkin akan begini, “jangan melulu ngarep tambelan dari cukai rokok deh, kan tahu sendiri penerimaannya kaga cihuy-cihuy amat”. Iya di luar dari kekonyolan itu tentu ada secercah harapan dari batalnya kenaikan tarif cukai, yakni iklim produktivitas industri skala kecil maupun menengah akan tumbuh lebih baik. Tidak lesu seperti dua tahun sebelumnya, artinya ya sejalan dengan upaya menjaga tingkat produksi rokok nasional.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024