Pernahkah kita membayangkan ada satu komoditas yang bisa dijual dengan harga hingga jutaan rupiah per kilogramnya? Apalagi, jika komoditas itu adalah produk perkebunan yang diandalkan masyarakat. Tentu saja, jawaban dari bayang komoditas itu bukanlah sawit, yang selain merusak alam, juga hanya dikuasai segelintir pihak. Dan komditas itu adalah tembakau.
Ya, setiap tahunnya harga tembakau terbilang melulu naik. Rataan harga tertinggi tembakau ada di kisaran Rp 1 juta. Ketika panen tembakau sedang bagus-bagusnya pada tahun 2015, harga tertingginya mencapai angka Rp 1,25 juta. Angka yang terbilang amat tinggi untuk harga sebuah komoditas di Indonesia.
Meski begitu, dibalik harga yang tinggi, selama ini ada satu kondisi yang jarang dibahas terkait pemberian harga komoditas ini. Hal itu adalah disparitas atau kesenjangan harga yang dialami oleh para petani tembakau. Saking ‘jomplang’nya harga tembakau, amat mungkin kita temukan petani mengeluhkan harga yang rendah dikala pemberitaan soal harga tembakau yang sedang bagus.
Jadi begini, salah satu hal yang menjadi faktor kenapa rentang harga tembakau menjadi begitu besar adalah tingkatan kualitas yang juga banyak. Tingkatan di komoditas ini dari Grade A yang paling rendah hingga Grade G atau H yang menjadi paling tinggi. Rerata, tembakau yang dihasilkan petani ada di kisaran C-E.
Biasanya, harga-harga tembakau yang rendah adalah tembakau grade A, karena memang merupakan kualitas terendah dari tembakau. Kemudian harganya meningkat seiring bertambahnya kualitas, Tapi jika harga Grade A ada di kisaran Rp 40 ribu, jenjangnya boleh dibilang jadi tidak masuk akal ketika harga Srintil yang ada di Grade G dengan kisaran Rp 1 jutaan. Sementara, Grade B, C, D rentang harganya hanya naik di kisaran puluhan ribu.
Hal ini bisa terjadi karena faktor pemberian harga yang ‘semena-mena’ dari para pedagang tembakau juga sebagian pabrikan. Harga yang diberikan setiap pedagang bisa berbeda, bergantung berapa besaran mereka mau membeli. Selain itu harga-harga fantastis yang dikeluarkan pabrikan untuk membeli Tembakau Srintil membuat mereka harus menutup beban keuangan dengan membeli tembakau lain di bawah harga. Hal ini amat bisa dilakukan, mengingat mereka yang punya kuasa untuk membeli tembakau dari petani.
Politik harga semacam ini biasanya dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar pabrikan dalam membeli tembakau kualitas tinggi. Sementara untuk tembakau kualitas standar, ya begitulah nasibnya. Kalau tidak dijual dengan harga yang ‘murah’, takutnya tidak terserap. Tapi kalau dijual murah ya untungnya tipis.
Persoalan semacam ini telah menjadi pekerjaan rumah yang harusnya segera diselesaikan oleh organisasi petani, juga dinas terkait agar tidak merugikan para petani. Jangan sampai, kesepakatan harga tembakau hanya dikeluarkan oleh pedagang dan pabrikan. Apalagi, jika kemudian pabrikan tidak mau terlibat dalam proses budidaya tanamannya.
Sebenarnya, ada satu pola hubungan dagang yang telah ditawarkan untuk menyelesaikan masalah ini. Yakni pola kemitraan. Model semacam ini telah diterapkan di beberapa daerah seperti Lombok, Rembang, juga Temanggung bersama sebagian pabrikan. Pola ini dilakukan agar pabrikan dapat mengawal proses budidaya demi kualitas tembakau yang baik, dan petani juga bisa mendapatkan penawaran harga yang baik karena kualitas tanamannya.
Semoga ke depannya, pola hubungan dagang semacam ini bisa diterapkan di banyak daerah. Hal ini menjadi penting bagi petani agar mereka tak lagi merasa dirugikan oleh pihak pedagang. Karena, jika tanaman mereka langsung diserap oleh pabrikan, mereka bakal mendapat nilai lebih yang selama ini dinikmati oleh pedagang yang kerap memainkan harga tembakau.
- Melindungi Anak adalah Dalih Memberangus Sektor Kretek - 29 May 2024
- Apakah Merokok di Bulan Puasa Haram? - 20 March 2024
- Betapa Mudahnya Membeli Rokok Ilegal di Warung Madura - 23 February 2024