Press ESC to close

Tarif Cukai Rokok Tidak Naik: Strategi Kampanye Jokowi?

Beberapa hari yang lalu, masyarakat Indonesia khususnya perokok mendapat kabar gembira. Pemerintah memastikan bahwa cukai rokok tahun 2019 tidak akan naik. Hal itu tentu disambut positif oleh stakeholder pertembakauan di nusantara.

Perokok di Indonesia seolah sudah terbiasa dengan kebijakan yang kontra dengan harapannya. Hampir di setiap akhir tahun, biasanya pemerintah menentukan kenaikan tarif cukai rokok. Setiap tahun, teriakan penolakan pada wacana kenaikan tarif cukai rokok juga hampir selalu terdengar.

Beda dengan penghujung tahun 2018, kekhawatiran atas kebijakan tersebut telah resmi sirna. Banyak pihak menuding bahwa konstelasi politik menuju 2019 adalah faktor utama mengapa Jokowi, sebagai representasi pemerintah, memutuskan untuk tidak menaikan tarif cukai rokok.

Jokowi dinilai khawatir jika mengeluarkan kebijakan yang tidak populis di ujung periode kepemimpinannya karena akan berdampak pada hasil akhir Pemilihan Presiden tahun depan. Hal serupa juga dinilai terjadi pada keputusan Jokowi yang memilih untuk menambal defisit anggaran BPJS Kesehatan dengan cukai rokok, bukan dengan menaikan iuran penerima bantuan. Benarkah tuduhan-tuduhan tersebut?

Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menjelaskan alasan mengapa kenaikan tarif cukai rokok yang telah simpang siur dikabarkan sejak September lalu akhirnya dibatalkan. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya banyak spekulasi di berbagai kalangan mengenai latar belakang keputusan ini. Bagi pihak-pihak yang sedang dalam suasana kompetisi elektoral saat ini, tidak naiknya tarif cukai rokok tentu menjadi isu yang sangat seksi untuk dimainkan.

Baca Juga:  Antirokok adalah Produk Rekayasa untuk Mendulang Keuntungan

Pihak-pihak yang tidak menyukai kepemimpinan Jokowi (untuk tidak menyebut oposisi) tentu akan menganggap bahwa kebijakan ini adalah strategi kampanye Jokowi jelang laga rematch melawan Prabowo. Kita bisa maklum itu.

Siapapun yang ingin mengkritisi pemerintah punya hak berpendapat. Sebagai konsekuensi logis, kebebasan berpendapat tentu harus beriringan dengan fakta dan data yang mendukung. Sejak 10 tahun terakhir, tarif cukai rokok selalu naik dengan besaran rata-rata kenaikan mencapai 10,5%. Bahkan pada tahun 2015 lalu, tatkala tarif cukai naik secara signifikan, target penerimaan kala itu tidak tercapai. Semua terjadi karena kebijakan tarif yang tidak menghitung kemampuan para pemangku kepentingan.

Jika akhirnya pemerintah mengevaluasi kebijakan yang sudah dijalankan secara konsisten selama 10 tahun, tentu ini sebuah itikad yang baik. Dengan tidak dinaikannya tarif cukai rokok, industri rokok skala kecil akan lebih punya harapan. Bayangkan saja, jika ‘rutinitas’ menaikkan tarif cukai rokok dilanjutkan hingga tahun ke-11, berapa ratus industri lagi yang harus gulung tikar? Berapa puluh ribu orang lagi yang harus di-PHK? Sedang kretek adalah warisan budaya bangsa, dan industri rokok adalah salah satu komponen yang konsisten mendompleng pendapatan negara.

Selain argumentasi politis, ada pula kelompok yang mengkritisi dengan argumentasi miris. Kelompok ini adalah kelompok yang terlalu absurd untuk dipahami tapi terlampau sayang untuk tidak ditanggapi. Ya, kelompok tersebut adalah anti-rokok. Mereka mengklaim jika cukai rokok tidak dinaikkan, maka harga rokok akan semakin murah sehingga prevalensi perokok semakin meningkat. Sungguh kesesatan berfikir tiada tara.

Baca Juga:  Punahnya Balai Penelitian Tembakau dan Kementerian Pertanian yang Dianggap Gagal Fokus

Padahal, harga rokok tak akan turun karena tarif cukainya yang tidak naik. Harga rokok akan tetap sama seperti di tahun 2018: mahal. Harga Djarum Super sebatang akan tetap Rp 1.500 dan tak akan kembali menjadi Rp 500 seperti zaman Jokowi masih jadi tukang kayu. Bahkan, kemungkinan akan ada penaikan karena selain beban cukai, masih ada variabel peningkatan penambahan upah pekerja dan beban produksi lainnya. Artinya, mau cukai naik atau tidak, harga rokok di Indonesia masih dan tetap saja tergolong mahal.

Kami selalu menyambut baik setiap kebijakan yang berpihak pada segenap pemangku kepentingan di sektor tembakau, karena selain industri ada jutaan buruh dan petani yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada keberlangsungan industri hasil tembakau. Kalau sudah begitu, terlepas dari hegemoni Pemilu 2019, tentu kita bisa melihat persoalan ini dari sudut pandang kemanusiaan, bukan?

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *