Sekali lagi kengawuran antirokok diumbar ke publik terkait usulan mereka ke pemerintah untuk diberikannya dana insentif kepada daerah-daerah yang kehilangan pendapatan dari iklan rokok. Jadi secara langsung tampak nyata sekali sisi moron (untuk tidak menyebut dungu) pada mereka. Jelas sudah isu kesehatan yang selama ini digunakan dalam kampanye memerangi rokok hanyalah bualan pemanis belaka.
Bukan apa-apa, kita tahu bagaimana antirokok selama ini gencar memainkan isu kesehatan, mulai dari kampanye tentang keburukan rokok sampai pada upaya diskriminatif pada pelarangan berbagai bentuk promosi rokok. Termasuk yang terjadi di Bogor misalnya, yang mewajibkan semua etalase rokok diberi tirai.
Upaya antirokok itu sebetulnya telah menciderai rasa keadilan di masyarakat, meskipun yang diumpankan dalihnya selalu hal-hal normatif. Tetap saja diskriminasi itu terasa kental nuansa permainannya. Iya salah satunya terkait dorongan mereka agar pemerintah mengeluarkan dana insentif kepada daerah yang tidak dapat pemasukan dari iklan rokok.
Secara tak langsung usulan tersebut mengafirmasi adanya pemasukan yang signifikan bagi daerah dari iklan rokok. Jika tidak ada nilai tambah bagi daerah tentunya tak perlu itu ada dorongan untuk mendapatkan dana insentif dari pemerintah.
Jika kita membaca lagi PP 109/2012, regulasi tentang pengendalian tembakau di Indonesia. Yang di dalamnya total terdapat 13 pasal yang mengatur iklan dan promosi rokok, ditambah satu pasal tentang Sanksi dan satu pasal tentang Ketentuan Peralihan. Tak satu pun dari 13 pasal tersebut yang menyatakan perlu adanya penggantian pendapatan dari tiadanya pemasukan dari iklan rokok bagi daerah-daerah yang melaksanakan amanat peraturan tersebut.
Usulan yang dinyatakan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Indonesia, Anung Sugihantono itu jelas tanpa landasan kuat, alias asal ceplos saja. Semacam usaha menautkan harapan baru kepada para stakeholder antirokok (terutama pemangku daerah) agar senantiasa girang hatinya dalam memerangi rokok.
Kalau itu kita nilai sebagai usaha pengemplangan alias ngompas pemerintah, pastinya usulan ngawur itu sangat tidak sejalan dengan spirit ‘kerja kerja kerja’ yang dikobarkan Presiden Jokowi. Satu sisi perwatakan antirokok tampak sudah di situ. Andaipun disetujui, berarti ada beberapa daerah seperti Bogor juga Kulonprogo misalnya, tidaklah terlalu mengharapkan dana insentif itu, karena PAD-nya aman terkendali bahkan mampu meningkat meski kehilangan pemasukan dari iklan rokok. Justru usulan itu bisa dianggap melecehkan bagi mereka.
Padahal selama ini kerap dinyatakan, bahwa dengan tiadanya iklan rokok, pendapatan daerah tidak akan sedikit pun terganggu. Namun dari usulan tersebut justru membuktikan betapa tidak konsistennya mereka dalam mempertanggungjawabkan sesumbar itu, iya sama halnya menguak kebusukan akal pragmatis mereka.
Bagi saya masih lebih baik apa yang pernah terjadi di daerah Cianjur pada 2016 lalu, ketika pendapatan daerahnya diakui mengalami penurunan drastis, segera saja Pemkab Cianjur memberlakukan kembali izin pemasangan reklame rokok di daerahnya.
Kengawuran khas antirokok ini sepertinya akan terus muncul, yang dari situ tersirat adanya upaya untuk membuktikan kepada dunia, bahwa perjuangan mereka dalam memerangi rokok sungguh tak kenal lelah, tak kenal jenuh, bahkan sampai tak tahu malu. Ini satu hal yang bahaya pada mereka, sekali lagi tak tahu m-a-l-u.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024