Press ESC to close

Cara Pemkab Kulonprogo Memelihara Kedunguan, Blokade Etalase Rokok Dengan Kampanye Kesehatan

Kerap kali penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dilandasi oleh kepentingan kesehatan. Selain tidak memberi ruang bagi perokok, kali ini Pemkab Kulonprogo semakin ketat memberlakukan larangan iklan rokok di ruang publik. Toko mini market tak boleh lagi memajang rokok di belakang kasir. Bagian belakang kasir diblokade dengan papan bermuatan kampanye kesehatan.

Bukan main memang, kini jejaring toko milik rakyat (Tomira) yang dikelola oleh Pemkab Kulonprogo, akan tak jauh beda nasibnya dengan ritel rokok di Kota Bogor dan Depok. Jika di Bogor dan Depok pada tirai menerakan pemberitahuan: Di Sini Jual Rokok. Bedanya di Kulonprogo, kampanye kesehatan mendapatkan ruangnya untuk beriklan di papan yang untuk menutupi etalase rokok.

Secara strategi periklanan, muatan kampanye kesehatan yang mendompleng etalase rokok itu terbilang sukses menutup akses visual konsumen terhadap rokok. Secara sublim bahasa yang bekerja di kepala konsumen membunyi; ternyata ada pesan kesehatan yang jauh lebih tinggi di atas kepentingan lainnya.

Kita bisa saja setuju terkait pembenaran yang sama dengan yang berlaku di Bogor, bahwa ada mata anak di bawah umur yang rentan terhasut untuk membeli rokok. Bahwa mestinya dipahami juga, ada anak kecil yang rentan terhasut membeli produk konsumsi lain yang memiliki faktor risiko seperti rokok. Dari sisi itu kita bisa nilai hal yang diskriminatif terjadi. Mangapa hanya terhadap rokok saja diberlakukan sebegitunya.

Baca Juga:  Papua Tak Miskin Karena Rokok, Tapi Karena Belum Merdeka

Lain hal kalau di papan itu tertera muatan edukasi, seperti begini: rokok memiliki faktor risiko kesehatan, anak di bawah 18 tahun dan ibu hamil diharap tidak mengonsumsi rokok. Selain itu ditekankan juga kepada pegawai Tomira untuk tidak menjual kepada dua golongan tersebut. Para perokok pun tidak akan keberatan jika berlaku begitu.

Namun jika muatan kampanye kesehatan melakukan repetisi yang mendiskreditkan rokok. Itu sama halnya dengan mereproduksi kedunguan yang sudah dimainkan sejak lama oleh rezim antirokok. Memprihatinkan betul sikap otoritas yang membenarkan terpeliharanya pendiskreditan terhadap produk legal. Perokok di Kulonprogo tentu bukanlah orang-orang bodoh yang dengan enteng saja menerima cara usang semacam itu.

Sekali lagi, adanya regulasi Kawasan Tanpa Rokok adalah untuk menjamin hak semua lapisan masyarakat, tak terkecuali. Namun berdasar pernyataan yang terlontar di media, hal itu konon dilakukan demi meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut BPJS kesehatan. Padahal jika pemasukan dari rokok ke kas negara menjadi turun akan otomatis tidak dapat mensubsidi persoalan defisit BPJS, seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya.

Baca Juga:  Perempuan di Industri Rokok Harus Dilindungi

Jika dalih pelarangan promosi rokok itu untuk menekan angka perokok, tentu saja tidak sepenuhnya benar. Sebab biar bagaimanapun rokok adalah produk legal, cara-cara pembatasan semacam itu jelas mencederai rasa keadilan di masyarakat. Boleh jadi nantinya masyarakat bukan terdampak bahaya kesehatan versi antirokok. Melainkan terjangkit depresi sosial lantaran masyarakat dipaksa memahami logika pemerintah dan agenda rezim kesehatan yang diskriminatif.

 

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah