Press ESC to close

Rokok Barang Haram? Lalu Korupsi Cukai Rokok Itu Disebut Apa?

Kalau ada orang yang paling ikhlas di Indonesia, orang itu adalah perokok. Setidaknya begitu menurut saya. Berlebihan? Gak juga, tuh.

Perokok adalah konsumen yang memberi pemasukan bagi kas negara dari tiap batang rokok yang dihisapnya. Triliunan rupiah uang diterima negara dari tiga komponen pajak yang terserap dari produk legal tersebut. Dari serapan tiga komponen pajak pada rokok, yakni cukai, PPN, dan PDRD (Pajak Daerah Retribusi Daerah) yang masuk ke dalam APBN itulah yang dipakai untuk mengongkosi keberlangsungan pembangunan, beberapa waktu lalu bahkan dari cukai rokok juga uang para perokok itu mampu menambal defisit anggaran BPJS-Kesehatan.

Lalu apa yang diterima oleh perokok?

Perokok sangat akrab dengan label orang penyakitan, sumber penyakit, orang-orang bodoh, dan berbagai stigma negatif lainnya. Bahkan, tak hanya stigma negatif, perokok pun kerap didiskriminasi. Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) lahir di berbagai daerah sebagai regulasi untuk mengebiri hak perokok; mulai dari pembatasan ruang hingga ancaman kriminalisasi.

Setelah semua itu, perokok tetap perokok. Perokok tetap setia berkontribusi bagi negara lewat pajak dan cukai. Kurang ikhlas apa lagi?

Baca Juga:  Merokok Bersama Anak Demi Cegah Corona itu Konyol

Sebagai informasi, rokok adalah donatur terbesar bagi pendapatan negara dari sektor cukai. Di penghujung tahun lalu, cukai rokok menyumbang Rp 149 triliun bagi APBN. Angka yang jelas tidak sedikit. Sialnya, karena begitu besar pemasukan negara dari rokok, ternyata justru melahirkan oknum-oknum tak bernurani yang justru mengambil celah untuk keuntungan pribadi. Penyalahgunaan anggaran pun terjadi.

Di Situbondo, mantan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Situbondo didakwa bersalah oleh pengadilan dalam kasus dugaan korupsi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Iya, oknum berinisial K ini diduga menyelewengkan cukai hasil tembakau.

Kasus ini ditengarai terjadi pada rentang waktu 2014-2015. Kala itu, salah satu alokasi anggaran Cukai Hasil Tembakau digunakan untuk pembangunan saluran air dibeberapa desa, dalam pengerjaan tersebut terdapat tindak pidana korupsi. Belum jelas memang kronologis kasus yang terjadi. Namun, yang menjadi poin saya adalah betapa seksinya cukai rokok. Dari perspektif politik dan ekonomi, cukai rokok jelas hal yang sangat sarat kepentingan.

Namun, di atas itu semua, ada hal yang lebih fundamental yang perlu diperhatikan: nasib jutaan buruh pabrik rokok, petani tembakau dan cengkeh, serta tak lupa BPJS Kesehatan yang beberapa tahun terakhir ‘menggantungkan’ nasib pada cukai rokok. Elemen-elemen ini berkaitan erat dengan Industri Hasil Tembakau, yang artinya juga berkaitan dengan cukai rokok.

Baca Juga:  Fenomena Dua Harga Rokok Merugikan Konsumen

Inilah ironi di negeri kretek Indonesia. Banyak pihak yang menuding buruk pada rokok dan perokok, namun juga banyak pihak yang secara terbuka dan terang bahwa mereka bergantung hidup pada sektor ini. Bahkan ada pula pihak yang ‘diam-diam’ mencintai dampak ekonomisnya.

Aris Perdana
Latest posts by Aris Perdana (see all)

Aris Perdana

Warganet biasa | @arisperd