Rokok ilegal semakin hari semakin banyak. Saya tentu tidak menghitung jumlah pasti berapa banyak rokok ilegal yang beredar di tengah masyarakat. Kita bisa tahu dari beragam pemberitaan di media, bahwa razia dan penyitaan berjuta-juta batang rokok dengan cukai palsu terus terjadi di berbagai daerah.
Hari ini ada penyitaan ratusan batang di Lampung. Besok ribuan batang di Malang dipreteli. Lusa ada kabar dari Balikpapan tentang penggeledahan gudang rokok ilegal. Informasi semacam itu berseliweran (hampir) setiap hari di kanal pemberitaan arus utama.
Lha, kok aneh ya? Semakin sering dirazia kenapa rokok ilegal ini nampak semakin menjamur? Kondisi ini persis dengan petuah lama Zimbabwe: “Jangan menjadi tembok bagi seseorang jika kau tak ingin dilompati, jadilah kasur bagi seseorang agar kau ditiduri.” Kira-kira seperti itu.
Oke. Kembali menyoal rokok ilegal. Rokok ilegal alias rokok tanpa cukai alias rokok dengan pita cukai palsu ini merupakan sebuah ironi di negeri kretek macam Indonesia. Di satu sisi, Industri Hasil Tembakau (IHT) menjadi salah satu donatur bagi pemasukan negara, punya pasar yang luas dan konsumen yang besar. Di sisi lain IHT terus disudutkan dengan regulasi-regulasi yang kontraproduktif.
Bahkan, Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Blitar, M Arif Setijo Noegroho, menyebut bahwa modus peredaran rokok ilegal kini semakin tertutup dan mirip dengan peredaran narkoba. Pelaku melakukan transaksi rokok ilegal di jalan, bukan di tokok atau di rumah.
“Sekarang modus peredaran rokok ilegal mirip dengan narkoba, dilakukan secara tertutup,” kata Arif, saat pemusnahan rokok ilegal, Rabu (12/12/2018).
Lebih lanjut Arif menyebut kalau para pelaku mengelabui petugas dengan tidak membawa mobil maupun motor yang ada keranjangnya. Pelaku hanya membawa tas ransel yang berisi rokok ilegal.
Apa yang disampaikan Arif ada benar dan salahnya. Benar kalau peredaran rokok ilegal di Blitar memang begitu adanya. Ia berani mengatakan karena memang berdasarkan pengalaman di lapangan. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah alasan yang membuat para pelaku menjadi tertutup dalam bertransaksi.
Begini, soal rokok ilegal perlu dilihat secara holistik. Tidak sepihak dan cenderung mendiskreditkan pelakunya. Salah satu alasan merebaknya rokok ilegal adalah mahalnya harga cukai. Produsen rokok dengan modal kecil-kecilan akan kesulitan membeli cukai resmi. Alhasil mereka membuat pita cukai palsu (ada juga yang tanpa pita sama sekali).
Harga jual eceran rokok ilegal ini pun jauh di bawah harga rokok legal. Ini pula yang menjadi faktor utama kebanyakan konsumennya: murah. Di samping persoalan selera dan rasa, persoalan harga merupakan unsur penting dalam pertimbangan perokok memilih rokok yang akan dibeli. Dengan harga yang murah, rokok ilegal memiliki pasar yang besar dan setia. Kemudian permintaan meningkat dan diikuti dengan jumlah produksi yang juga semakin besar.
Kurang lebih seperti itu siklus rokok ilegal. Mengenai peredaran yang semakin tertutup dan mirip narkoba itu masalah perspektif. Rasanya banyak juga terungkap toko dan rumah yang dijadikan tempat transaksi narkoba. Pun sebaliknya, peredaran rokok ilegal juga tidak selalu di jalan.
Yang harus menjadi fokus kalau ingin menekan peredaran rokok ilegal adalah menekan juga harga cukai. Toh tingginya harga cukailah yang menjadi alasan produsen kecil memilih untuk memalsukan. Kalau regulasi-regulasi soal rokok semakin mengebiri para stakeholder, bukan tidak mungkin ke depannya rokok yang legal pun akan dibual secara sembunyi-sembunyi.
Sekarang display rokok dilarang, bisa jadi nanti rokoknya yang dilarang. Para penjual rokok ilegal hanya contoh nyata dari petuah Zimbabwe; melompati tembok-tembok yang dibangun oleh pemangku kebijakan.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022