Search
Kehadiran Satgas KTR Tak Boleh Mengebiri Hak Perokok

Bukan Masyarakat di Lingkup RW yang Butuh Sosialisasi Peda KTR, Tapi Aparatur Daerah

Ada satu salah paham yang kerap menjadi duri dalam daging pada penegakkan aturan Kawasan Tanpa Rokok, yakni hanya warga yang butuh sosialisasi. Padahal, dalam beragam hal, aparatur daerah seperti Satuan Polisi Pamong Praja justru jauh lebih membutuhkan sosialisasi agar mendapat pemahaman yang benar dalam penegakkan aturannya. Hal ini kemudian menjadi masalah yang melulu menggagalkan penegakkan KTR.

Seperti yang terjadi di Cirebon, ketika pemerintah daerah lebih mendorong terjadinya sosialisasi KTR di tingkat RW ketimbang pada aparaturnya. Dalam pandangan mereka, lingkup RW turut menjadi sasaran KTR, karenanya penegakkan di sana perlu ditegakkan. Demi mewujudkannya, perlu dilakukan sebuah sosialisasi agar para warga tidak lagi melanggar KTR.

Sekilas, apa yang hendak dilakukan Pemda Cirebon memang benar. Namun, sekilas saja ya. Karena jika kita tilik lebih jauh, apa yang dilakukan mereka adalah kegiatan buang-buang waktu belaka dan (hampir) tidak bermanfaat.

Pada tatanan masyarakat yang lingkupnya lebih kecil seperti RW, hal-hal mengenai ‘aturan merokok’ telah selesai secara kultural tanpa perlu intervensi regulasi. Masyarakat sudah paham, di mana mereka boleh atau tidak boleh merokok. Mereka juga paham, jika di tempat-tempat seperti masjid atau gereja, merokok itu tidak diperbolehkan. Kalau mau merokok ya keluar masjid atau gereja dulu. Masa di dalamnya.

Hal-hal seperti ini gagal dipahami pemerintah karena kebiasaan penguasa menggunakan pola top down yang bersifat hirarkis. Pokoknya aturan pusat harus dilaksanakan daerah, tanpa ada upaya menyerap dan melihat bagaimana kondisi yang terjadi di masyarakat. Seandainya mereka mau melihat ke lapangan, tidak bakal mereka berpikiran bahwa lingkup RW membutuhkan sosialisasi KTR mengingat masyarakat tidak lagi bermasalah dengan hal ini.

Baca Juga:  Ironi Tembakau dan Perokok di Pulau Dewata

Penegakkan KTR itu perlu dilakukan di semua tempat, termasuk lingkup RW. Itu satu hal yang pasti. Tapi ketika yang dilakukan hanya melulu sosialisasi pada warga ya tidak bakal mengubah apa-apa. Karena seperti telah dijelaskan di atas, aparatnya yang lebih butuh sosialisasi.

Saya berikan sedikit contoh yang bisa menjelaskan kenapa aparatur lebih butuh sosialisasi ketimbang warga. Misal begini, ketika melakukan penegakkan KTR di satu tempat umum, aparatur seperti Satpol PP kerap kebingungan ketika ditanya balik oleh warga terkait keberadaan ruang merokok. Lah ya mereka bingung, area merokoknya tidak ada (atau tidak jelas). Padahal, ketika mau menegakkan Perda KTR, keberadaan ruang merokok menjadi penting.

Karena tidak bisa dilakukan penegakkan KTR ketika amanat regulasi terkait ruang merokok tidak tersedia. Di satu sisi, perokok akan melulu dianggap salah karena merokok di sembarang tempat. Sementara di sisi lain, tidak ada tempat yang tidak sembarangan karena ruang merokok yang menjadikannya tidak sembarangan itu tidak tersedia.

Kemudian, ketika aparatur dituntut untuk menyediakan ruang merokok sebagaimana amanat regulasi, biasanya mereka bakal acuh atau berlaku masa bodo amat. “Tanya sama pemerintah sana, jangan kami,” begitu kira-kira jawabannya. Padahal ya mereka itu bagian dari pemerintahan yang membuat Perda KTR itu.

Baca Juga:  Perda KTR Kabupaten Bandung yang Diskriminatif dan Tidak Objektif

Nah, agar tidak terjadi hal-hal demikian lagi, sudah menjadi sebuah kepastian jika sosialisasi kepada aparat penegak Perda KTR adalah hal mendesak yang perlu dilakukan. Karena, jika mereka telah memahami regulasi, mereka tidak bakal kebingungan ketika dituntut masyarakat terkait ruang merokok. Kemudian, jika aparatnya lebih progresif lagi, yang bakal ditangkap karena melanggar Perda KTR adalah pemerintah daerah, bukan lagi masyarakat.

Sebuah hal yang wajar mengingat pelanggar terbesar Perda Kawasan Tanpa Rokok adalah pemerintah dan penyedia tempat umum, bukan masyarakat. Lah mereka diperintahkan untuk menyediakan ruang merokok tapi tidak melakukan, dan pembangkangan itu kemudian menciptakan kondisi para perokok yang melanggar KTR. Jadi dobel kan, salahnya.

Aditia Purnomo