Selalu saja ada yang lucu nan absurd yang dilakukan antirokok dalam memanfaatkan pelajar untuk kampanye berhenti merokok. Seperti yang terjadi di Cirebon pada masa liburan akhir tahun kemarin. Masa liburan yang harusnya diisi dengan kegiatan yang mencerahkan kebutuhan ruhaniah, justru ini diisi dengan kampanye tukar rokok dengan permen.
Kasihan betul anak-anak yang masih di bawah umur ketika harus dibawa-bawa terlibat menggolkan kepentingan antirokok. Seperti yang pernah dilakukan oleh antirokok yang mewacanakan adanya Polcilkes. Betapa ironisnya gerakan antirokok dalam hal itu, alih-alih menolak anak jadi korban rokok eh malah pula menumbalkan anak-anak sebagai martir untuk membenci produk legal yang distigma negatif itu.
Celakanya, kampanye yang melibatkan pelajar ini berkeliling ke setiap Organisasi Perangkat Daerah di Pemkab Cirebon sambil melagukan yel-yel tentang stop merokok. Justru bukan sebatas menukar permen biasa kepada perokok. Permen itu justru permen yang juga mengandung nikotin. Seorang pelajar, Aidin Fitrah, mengatakan, “dalam permen itu terdapat zat nikotin dengan jumlah normal dimana dapat mengalihkan kecanduan terhadap nikotin pada rokok”.
Dari kampanye gerakan tukar rokok dengan permen yang terjadi di Cirebon ini jelas menunjukkan bahwa kepentingan antirokok adalah juga bagian dari promosi dagang. Implikasinya jelas, ketika perokok ditawari permen tersebut sambil pula dijejali doktrin agar beralih dari kebiasaan merokok, tetapi faktanya toh tidak akan mengubah ketergantuan terhadap nikotin. Wong permennya mengandung nikotin juga. Apa itu namanya kalau bukan pengejawantahan teori demarketing.
Kita (baca: orang tua) tentu tidak ingin anak-anak yang masih berstatus mengenyam pendidikan diperdaya oleh kepentingan semacam itu. Tetapi antirokok malah mendapat apresiasi positif dari sebagian masyarakat yang awam dari isu pendiskreditan rokok. Dalih atas nama kesehatan selalu saja merebut empati masyarakat awam, meski di baliknya kepentingan bisnis obat-obatan tengah bekerja secara masif dan sistematis. Bagaimana tidak, mulai dari memanfaatkan regulasi sampai memperdaya stakeholder pertembakauan, juga akademisi cabutan yang terima proyek antirokok untuk menyuarakan kepentingan bisnis nikotin.
Saya pribadi menyesali betul trik-trik yang melulu melecehkan kewarasan publik. Layaknya bisnis isu dan pencitraan para Capres yang dilariskan oleh golongan kampret maupun cebong. Ujung-ujungnya jelas pasar suara massa awam, ataupula swing voter, yang kalau di pasar perokok beda tipis dengan pengguna rokok elektrik. Iya nyedot vape iya merokok juga. Merepetisi dalih lebih sehat dibanding rokok, soal gangguan asap dan risikonya padahal sama. Lantas malah kepingin dibuatkan regulasi yang beda dari rokok, hih.
Boleh jadi gerakan serupa (baca: tukar rokok dengan permen) akan terus dimasifkan di tahun ini dengan memanfaatkan elemen masyarakat yang lebih berpengaruh, dengan juga memanfaatkan isu politik identitas. Seperti yang kronis terjadi pada ajang kampanye para Capres. Iya ulama iya ormas suporter agama kambuhan jadi ternak yang latah. Yang diuntungkan siapa coba kalau bukan para bandar alias industri kesehatan dan farmasi.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024