Indonesia diklaim sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di Asia Pasifik. Menyikapi hal tersebut, kelompok anti rokok melakukan manuver dengan berbagai cara agar konsumsi rokok dapat ditekan seminimal mungkin. Setelah beberapa cara dilakukan, mereka mendapati fakta bahwa prevalensi perokok tak berubah signifikan.
Beberapa tahun belakangan, tren yang berkembang adalah pembuatan regulasi atau aturan hukum yang bermuatan materi kampanye anti rokok. Berbagai daerah di Indonesia, baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, berlomba-lomba menyusun dan menelurkan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Entah apa yang membuat kebanyakan kepala daerah merasa penting untuk membuat Perda tersebut.
Kalau kita mau inventarisir, beberapa alasan yang paling umum dikedepankan ketika Perda KTR lahir adalah tentang pentingnya udara sehat dan bebas asap rokok. Pihak-pihak yang beralasan macam ini nampaknya lupa bahwa kendaraan adalah penyumbang terbesar polusi udara. Alasan selanjutnya adalah demi menyelamatkan generasi muda dari ancaman bahaya rokok. Ya, bahaya rokok!
Begini. Kita bisa bersepakat bahwa asap knalpot kendaraan adalah zat berbahaya dan mematikan. Tapi, akan ada banyak fakta yang membuat rokok tak bisa disejajarkan level bahayanya dengan asap knalpot. Ada banyak tokoh pemikir besar dunia yang merokok. Ada banyak perokok sepuh yang berumur melampaui batas usia manusia pada umumnya. Dua fakta tersebut rasanya cukup untuk membuat kita berpikir ulang: apa benar rokok berbahaya?
Sialnya, argumentasi yang masih dipertanyakan keshahihannya tersebut seolah mendapat dukungan. Maksudnya, para kepala daerah yang berlomba-lomba membuat regulasi anti rokok tersebut ternyata mendapat banyak apresiasi, meski regulasi tersebut berdiri di atas bangunan narasi yang absurd.
Berbagai provinsi dan kabupaten/kota telah menerima penghargaan atas kemauannya membuat Perda KTR. Tak tanggung-tanggung, penghargaan ini diberikan langsung oleh lembaga negara setingkat kementerian. 11 kepala daerah menerima penghargaan pada momentum Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun lalu. Yang terbaru, Yayasan Lentera Anak memberikan penghargaan Sahabat Ramah Anak kepada empat pimpinan daerah yang memiliki komitmen untuk melindungi anak dari zat adiktif rokok dengan kebijakan di setiap daerahnya.
Saya tidak menolak setiap upaya melindungi anak dari rokok. Bahkan saya sepakat bahwa perokok sebaiknya berkomitmen untuk menjauhi kawasan yang terdapat banyak anak-anak ketika hendak merokok. Persoalannya adalah keberadaan penghargaan tersebut. Media kita sudah dibanjiri pemberitaan soal penghargaan-penghargaan macam itu. Kadang, ada satu daerah yang mendapat dua penghargaan serupa dari lembaga yang berbeda. Berlebihan!
Tujuan dari diadakannya penghargaan ini jelas untuk menimbulkan spirit persaingan antar daerah. Provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Indonesia digiring ke dalam arena perlombaan “Daerah Paling Anti Rokok”. Dari persaingan ini, muncul wacana-wacana di tiap daerah yang belum memiliki regulasi anti rokok, untuk segera membuat Perda KTR atau sejenisnya.
Apakah hal tersebut hanya terjadi pada daerah yang belum memiliki Perda KTR? Tidak! Daerah yang sudah lebih dulu punya Perda KTR pun tak mau kalah inovatif. Kota Bogor, sebagai salah satu dedengkot daerah anti rokok, bahkan merevisi Perda KTR Bogor dengan memasukan beberapa poin baru yang semakin kontroversial.
Maka tak berlebihan jika kita mencurigai penghargaan-penghargaan tersebut hanyalah akal-akalan rezim anti rokok untuk menyusupkan kepentingan dan materi kampanye mereka ke dalam peraturan yang terlegitimasi oleh hukum. Sayangnya, penghargaan tersebut tak cukup ampuh untuk membunuh Industri Hasil Tembakau (IHT) yang sudah banyak berkontribusi bagi perekonomian negara.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022