Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) sedang dalam proses pembahasan revisi. Salah satu kelompok yang termasuk cukup ‘rewel’ menyoal wacana revisi UU Penyiaran adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mereka menilai dengan masih diizinkannya iklan rokok di televisi berdampak pada meningkatnya prevalensi perokok anak. Karenanya mereka mendesak pemerintah agar memasukan aturan larangan total iklan rokok di televisi di UU Penyiaran yang baru.
“KPAI saat ini sedang mencoba mengawal beberapa aturan yang terkait dengan rokok, salah satunya, misalnya, terkait dalam Undang-Undang Penyiaran,” kata Sitti Hikmawatty, Komisioner KPAI Bidang Kesehatan dan NAPZA, dilansir dari tirto.id (22/1/2019).
KPAI tidak sendiri, semua lembaga anti rokok pun punya argumentasi serupa. Tudingan mereka serius. Mereka benar-benar menganggap iklan, baik di televisi maupun iklan luar ruang, adalah faktor yang sangat mempengaruhi seseorang untuk merokok. Entah dengan metode berpikir macam apa hingga tudingan tersebut lahir.
Menyikapi tudingan dari KPAI dan kawan-kawan anti rokok, menurut saya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apa benar UU Penyiaran—yang jelas-jelas sangat membatasi iklan rokok—masih terlalu longgar untuk diterobos oleh industri rokok? Berdasarkan catatan kami, keberadaan iklan rokok di televisi tidak melanggar apa pun. Tayangan iklan rokok hanya muncul pada malam hari, waktu di mana (seharusnya) tidak ada anak-anak yang menonton televisi.
Selain itu, rokok merupakan barang legal. Tidak ada satu pun undang-undang atau regulasi hukum lain yang melarang rokok diperjualbelikan. Sehingga, iklan rokok dan promosi rokok adalah konstitusional. Ada beberapa catatan, tentunya, yaitu tidak dilakukan di kawasan yang dilarang seperti rumah sakit dan kawasan pendidikan, serta tidak ditayangkan pada jam menonton anak.
Kedua, iklan dan promosi rokok tidak berkaitan secara langsung dengan perilaku merokok seseorang. Begini, iklan dan promosi rokok hanyalah upaya industri untuk memperkenalkan brand atau merk dagang mereka masing-masing. Jadi, saya masih tidak yakin bahwa gambar-gambar iklan dan promosi rokok dapat mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilhan; dari yang tidak merokok menjadi perokok.
Masyarakat dan pemerintah memang patut melakukan pengawasan dan penegakan aturan. Namun jangan sampai terkesan berlebihan dan malah mematikan nalar. Terlebih saat ini sudah banyak aturan hukum yang membatasi rokok.
Selain itu, setiap upaya pengawasan tentu harus mengedepankan argumentasi yang masuk akal. Ya, menyebut iklan rokok sebagai faktor kuat penyebab seseorang mencoba rokok adalah tuduhan yang merendahkan nalar. Betapa tidak, kita bahkan tidak pernah melihat iklan rokok yang menampilkan adegan atau gambar orang merokok. Sebagai contoh, salah satu iklan rokok menampilkan adegan sekelompok pemuda yang bertualang menggunakan Jeep, apa layak kita menuduh adegan tersebut berpotensi mempengaruhi seseorang untuk merokok? Apa perlu UU Penyiaran juga mengatur kendaraan yang boleh digunakan dalam iklan? Halaah…
Kelompok anti rokok, bagaimana pun caranya, akan selalu berkampanye buruk tentang rokok. Padahal, semua bungkus rokok sudah disertai peringatan dan gambar-gambar penyakit mengerikan (kini ditambah dengan nomor layanan berhenti merokok). Kalau memang mereka percaya pada kuasa gambar, harusnya peringatan gambar penyakit tersebut sudah lebih dari cukup. Kira-kira begitu.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022