Beberapa waktu lalu sempat ramai kabar duka mengenai kematian almarhumah istri dari Indro Warkop yang dimanfaatkan untuk kampanye kesehatan. Kala itu beredar viral sebuah foto yang menunjukan adanya spanduk yang mengaitkan kematian almarhumah dengan kampanye berhenti merokok. Tega betul.
Indro jelas kecewa dengan ramainya pemberitaan tersebut. Hal tragis itulah yang membuat Indro melancarkan klarifikasinya ke dalam video singkat melalui akun instagram. Siapa pun orangnya tentu akan sangat jengkel jika kematian orang-orang tercinta dipolitisir demi ‘keuntungan’ tertentu, dalam video tersebut Indro sendiri mengakui bahwa dirinya mendukung pula gerakan berhenti merokok, namun yang disesali adalah cara-cara yang tidak etik yang mengaitkan kematian istrinya dengan kebiasaan mereka merokok di masa lalu. Sesuatu yang absurd pada perkara itu terasa sekali.
Sebelumnya, kematian almarhum komedian Gogon juga sempat jadi bahan pemberitaan yang mengusung framing kampanye anti rokok. Framing pemberitaan di beberapa media mengaitkan kematian Gogon dengan aktivitas merokoknya meski tak pernah terbukti apa benar rokok yang ‘membunuh’ Gogon.
Framing yang dimaksud adalah memanfaatkan kabar duka cita tersebut untuk memancing klik dari pembaca. Setelah dibaca, ternyata isinya kental dengan nuansa kampanye-kampanye itu tadi. Sialnya, fenomena itu bukanlah yang terakhir. Yang terbaru, kabar soal mantan ibu negara, Ani Yudhoyono yang sedang sakit juga di-framing sedemikian rupa untuk menyisipkan isu anti rokok.
Ani Yudhoyono diketahui sedang dirawat di National University Hospital di Singapura lantaran mengidap penyakit kanker darah. Kabar tentang istri dari Presiden RI ke-6 ini lantas menjadi headline di beberapa media nasional. Berbagai pihak menyampaikan doa dan dukungan kepada Bu Ani.
Dari beberapa berita tentang Bu Ani, ada saja media yang coba mengejawantahkan faktor-faktor yang diklaim menjadi penyebab kanker darah sebagaimana yang diidap oleh Bu Ani. Detik.com mengangkat sebuah artikel tentang faktor risiko kanker darah, di mana salah satunya adalah rokok. Tak hanya detik, beberapa media lain pun mengangkat artikel serupa.
Sepintas tidak ada yang salah dari berita macam ini. Mereka pun bisa saja berkelit bahwa tujuan mereka hanya membuat awareness pada publik agar lebih berhati-hati pada penyakit yang senantiasa mengintai. Terlihat mulia, bukan?
Pertanyaannya: apa alasan menyusupkan frasa “rokok” atau “merokok” dalam judul maupun isi berita duka? Ya, jelas. Pembaca diharapkan takut untuk merokok karena diposisikan berhadap-hadapan dengan risiko penyakit bahkan, pada titik tertentu, risiko kematian. Entah logika apa yang digunakan para anti rokok hingga tega mencari kesempatan dalam suasana duka. Para antirokok yang saya maksud jelas, yaitu mereka yang kerap kempanye hitam tentang bahaya rokok sambil terus mengeruk pundi-pundi uang dari lembaga yang berkepentingan mengendalikan tembakau. Suasana duka, dengan alasan apapun, tak sepantasnya disusupi kepentingan bisnis.
Begini, semua orang bisa sakit. Semua orang pasti mati, siapapun mereka, perokok atau bukan. Kita bisa menemukan banyak orang berumur panjang meski tak pernah menghentikan aktivitas merokok. Pun sebaliknya, kita bisa menemukan orang yang tidak pernah merokok namun meninggal pada usia muda. Hidup dan mati seseorang tidak ditentukan oleh statusnya seorang perokok atau bukan.
Maaf untuk narasi yang agak emosional ini. Seringkali orang-orang kesehatan memberi stigma bahwa perokok adalah kaum pesakitan, padahal, bicara kesehatan bukan cuma perkara rokok. Stigma-stigma semacam ini justru kontraproduktif dalam upaya mempersatukan masyarakat. Ke depannya, lebih baik kelompok yang mengaku membela kesehatan masyarakat ini belajar adil sejak dalam pikiran.
- Merokok Di Rumah Sakit, Bolehkah? - 27 October 2022
- Sound Of Kretek, Wujud Cinta Bottlesmoker - 4 October 2022
- Membeli Rokok Itu Pengeluaran Mubazir? - 12 September 2022
Leave a Reply