Press ESC to close

Konsolidasi Antirokok Berujung Monopoli, Demi Menguntungkan Siapa?

Berbagai upaya untuk menaikkan harga cukai rokok terus dilakukan, di antaranya adalah mendorong penyederhanaan golongan cukai rokok. Boleh jadi, penyederhanaan ini didorong berdasar anggapan supaya penghitungan tarif cukai lebih gampang. Lantas semua jenis rokok diberi tarif yang sama, agar harganya sama-sama tinggi.

Di Indonesia banyaknya golongan cukai rokok di Indonesia disebabkan beragamnya level industri rokok yang ada. Ini yang perlu diketahui semua pihak. Selain itu, varian produk rokok di Indonesia juga banyak. Ada kretek tangan, kretek mesin, juga rokok putih. Jelas berbeda dengan banyak negara lain yang cuma mengenal rokok putih.

Belum lama ini dorongan untuk menyederhanakan tarif cukai tersebut dibahas lagi dalam agenda konsolidasi antirokok di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta. Pihak Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerjasama dengan STIE Ahmad Dahlan membahas berbagai alasan terkait isu rokok.

Sebagai produk legal, rokok bagi mereka tak ada secuil pun sisi manfaatnya. Pokoknya harus terus digencet agar tergantikan. Berbagai argumen kesehatan menjadi pembenaran yang berulang direproduksi antirokok.

Padahal nih kalau mau konyol-konyolan, jika memang rokok itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat tinggal tutup saja semua pabriknya. Kelar perkara. Celakanya di balik itu semua antirokok juga masih melihat adanya ‘keuntungan’ dari duit perokok yang masuk buat negara. Iya buktinya tarif cukai didorong terus untuk naik. Alih-alih meningkatnya prevalensi perokok karena harga rokok dianggap murah hanya kamuflase belaka.  Ada kepentingan lain di balik itu semua sesungguhnya.

Baca Juga:  Ruang Merokok dan Catatan Untuk Wacana Perda KTR Pandeglang

Absurdnya lagi dalam pembahasan itu tak ada bahasan yang mengangkat nilai ekonomi dari pasar rokok di Indonesia. Padahal sedianya di ajang konsolidasi tersebut ada seorang perwakilan dari Muhammadiyah Economic Team, Diah Setyawati Dewanti. Namun dalam kesempatan semacam itu malah tidak bicara berdasar kapasitasnya di bidang ekonomi. Bahwa ada nilai ekonomi yang menguntungkan dari Industri Hasil Tembakau yang telah mencukupi hajat hidup banyak orang. Tak dibahas secuil pun.

Perwakilan di bidang ekonomi tersebut malah lebih menyoroti sisi negatif dari rokok. Iya memang keberadaan cukai rokok dibuat dengan maksud membatasi konsumsi masyarakat. Mengingat kehadirannya sebagai produk konsumsi yang memiliki faktor risiko. Tetapi sebetulnya pembagian golongan tarif cukai di Indonesia sudah diperhitung demikian matang. Dengan pembagian golongan, perusahaan rokok kecil tidak akan membayar tarif cukai yang sama dengan perusahaan besar.

Biar bagaimanapun asas keadilan semacam ini telah diperhitung betul-betul agar perusahaan rokok kecil tetap bisa bersaing dan beroperasi. Celakanya asas keadilan dari aspek itu sama sekali tidak menjadi bahasan antirokok. Pokoknya rokok itu buruk dan buruk saja yang dilihat, maka itu harus disama tinggikan dengan pola single tarif seperti yang berlaku di luar Indonesia.

Baca Juga:  Menyoal Pembatasan Jam Tayang Iklan Rokok

Hey Nyonya, kita ini bangsa majemuk, nilai-nilai kemajemukan pada Indonesia itulah yang bikin kita kaya akan produk budaya. Sehingga ada banyak varian rokok dan level industrinya. Jangan samakan pola industri dan pasar kita dengan negara lain yang menganut single tariff.  Mikir. Satu lagi, konsolidasi berujung monopoli itu demi menguntungkan siapa?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah