Nasib perokok sebagai konsumen produk legal kerap diposisikan layaknya pesakitan. Bagaimana tidak, pelbagai desakan dari kalangan antirokok sudah sampai pada mendorong Perda KTR mecantumkan pemberian sanksi. Pemberian sanksi dalam hal ini tentu sangat tak bijak diterapkan. Sebab biar bagaimanapun aktivitas merokok merupakan aktivitas yang dilindungi secara konstitusional. Ada cara bijak melalui edukasi yang mestinya dilakukan.
Namun Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang didorong antirokok selama ini kerap dijadikan sebagai alat untuk mendiskriminasi perokok. Di Surabaya desakan untuk menerapkan sanksi terhadap perokok menjadi satu hal yang sangat dipaksakan. Bahkan lebih jauh dari itu sampai pada memberikan kewenangan RT dan RW untuk terlibat mengawal agenda tersebut.
Upaya pelibatan semacam itu sebetulnya adalah salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang. Karena tidak ada aturan hukum di atas Perda KTR yang menetapkan tugas RT maupun RW untuk mengkawal agenda KTR di lingkungannya. Jika demikian antirokok sebetulnya tengah berupaya memanfaatkan instrumen Perda KTR untuk menggolkan kepentingan lain.
Tuduhan tidak efektifnya Perda KTR yang ada sebetulnya lantaran masih belum terpenuhinya ruang bagi perokok. Jika saja penerapan Kawasan tanpa Rokok juga dibarengi dengan pengadaan ruang merokok yang memadai, niscaya perokok pun akan memanfaatkan ruang tersebut. Jika ruangnya sudah disediakan tapi masih ada yang melanggar, barulah asas teguran diberlakukan.
Perlu diketahui bersama bahwa penyediaan ruang merokok ini merupakan amanat konstitusi. Jangan sampai amanat penting ini diabaikan. Alih-alih ingin menyadarkan masyarakat tapi tanpa dibarengi taat asas itu tidak bijak namanya.
Bila desakan antirokok melulu soal sanksi bagi perokok yang melanggar aturan KTR, hal itu semakin tujuan antirokok yang jauh dari kata mendidik masyarakat. Budaya bangsa kita yang saling menghargai dan saling melengkapi pada akhirnya dikaburkan oleh kepentingan antirokok. Apalagi sampai memanfaatkan peran RT dan RW dalam meluluskan kepentingan di balik itu. Orang Jakarta bilang songong itu namanya.
Keberadaan Kawasan Tanpa Rokok sebetulnya bukan untuk mendiskriminasi perokok. Namun untuk melindungi hak semua lapisan masyarakat. Terutama bagi mereka yang tidak ingin terpapar asap rokok. Seharusnya Perda KTR juga bukan dibuat untuk menghkum perokok. Itu jelas sudah kelewatan. Bahkan lebih lanjut melampaui kewenangan.
Memang sudah bukan hal baru kalau selama ini antirokok demikian memusuhi rokok maupun perokok. Iya salah satu upaya pemberian sanksi dan pelibatan peran RT dan RW semakin menjelaskan bahwa perokok harus diposisikan sebagai musuh bersama bagi mereka. Sementara seperti yang juga sudah kita ketahui kontribusi perokok tidaklah kecil melalui cukai yang dibayarkan dan masuk sebagai kas negara. Intinya, Perda KTR mau direvisi dan diberi penambahan aturan di dalamnya janganlah sampai melampaui kewenangan di atasnya. Perlu diingat lagi, jangan sampai hal itu malah menjadi aturan yang kontraproduktif.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024