Lingkungan tinggal yang asri dan sehat tentu menjadi impian banyak orang. Apalagi bagi warga Jakarta yang tinggal di pemukiman padat huni. Mungkin impian semacam itu bisa didapat dengan cara mencipta lingkungan menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun seperti yang kita ketahui ruang hidup warga kota kian terdistraksi saja oleh berbagai kepentingan dan impian yang dipaksakan. Dalam konteks ini di antranya kepentingan antirokok yang kerap menggunakan dalil normatif kesehatan.
Jika kita kritisi lebih lanjut terkait penerapan KTR di wilayah peukiman, apakah upaya itu betul-betul dapat mencipta lingkungan yang sehat, artinya semakin sedikit orang terdampak penyakit era kiwari? Apakah dengan membuat perokok menjadi terasing dari lingkungannya cukup manusiawi? Tentu tidak.
Seperti halnya keberadaan kampung tanpa rokok di RT 013 RW 01 Sunter Jaya, Jakarta Utara. Di lingkungan mereka penerapan aturan bebas asap rokok digadang-gadang telah berhasil menekan jumlah perokok. Beberapa warga yang ingin merokok terpaksa harus keluar dari lingkungan tinggalnya hanya untuk bisa menunaikan aktivitas legal tersebut. Sungguh ini suatu kondisi yang tidak manusiawi. Seolah-olah aktivitas merokok adalah suatu hal yang amoral sekali jika dilakukan di daerah tinggalnya.
Upaya pengkodisian lingkungan semacam itu jelas telah menampakkan satu bentuk diskriminasi. Ada upaya pelecehan terhadap hak konstitusional warga, dalam hal ini terkait mengakses barang legal. Rokok adalah barang legal yang dijamin secara konstitusi. Jadi dalam mengonsumsinya tak perlu sembunyi-sembunyi. Warga yang perokok mestinya tak perlu merasa bersalah dalam mengonsumsi rokok, lha jelas dilindungi konstitusi kok. Ketua RT harusnya mengakomodir juga hak warganya yang perokok. Bukan malah bangga dan membiarkan kondisi itu terus terjadi. Ngawur.
Esensi dari keberadaan KTR bukan untuk mengasingkan perokok dari masyarakatnya. Salah kaprah belaka jika hal itu terus terjadi. Bahkan semakin konyol saja jika salah kaprah itu menjadi contoh yang ditiru oleh daerah pemukiman lainnya.
Mestinya Ketua RT beserta pengurusnya dapat memahami esensi KTR dibuat, bukan malah berlaku diskriminatif sampai harus melakukan teguran. Lain hal kalau asas win win solution sudah dikedepankan, yakni dengan menyediakan area khusus untuk perokok di lingkungannya. Iya minimal caranya dengan menggandakan fungsi Pos Kamling sebagai area merokok. Sehingga keberadaan Pos Kamling di situ menjadi hidup menjadi ruang temu budaya yang harmonis.
Dengan demikian warga perokok juga merasa dimanusiakan bukan malah merasa dikucilkan. Warga yang bukan perokok jika tidak ingin terpapar asap rokok ya jangan gabung di area itu. Masak solusi sederhana kayak gitu aja susah dilakukan. ]
Pada prinsipnya penerapan KTR adalah upaya untuk melindungi semua lapisan masyarakat. Agar tidak ada pihak yang merasa terganggu oleh paparan asap rokok. Lingkungan yang asri dan sehat bukan melulu soal pencitraan visual belaka, artinya tidak sebatas pengadaan pot-pot yang berisi tanaman. Melainkan pula dengan mencipta rasa keadilan dan kenyamanan bagi semua warga. Tak perlu ada perlakuan diskriminatif yang hanya bertujuan mencitrakan lingkungan seturut agenda antirokok.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024