Persoalan pencemaran lingkungan menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi banyak negara berkembang. Di antaranya termasuk pencemaran udara, air, dan tanah. Penyebabnya tentulah beragam, mulai dari limbah industri, polusi asap kendaraan, limbah rumah tangga, hingga rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan.
Pencemaran udara di Jakarta misalnya, telah diketahui banyak pihak sebagai salah satu penyumbang tingginya penyakit kardiovaskuler. Jakarta sebagai ibukota negara kerap kali menjadi sorotan, dalam konteks ini terkait buruknya kualitas udara serta pencemaran lainnya. Asap kendaraan adalah salah satu penyumbang polusi udara Jakarta yang membawa risiko penyakit bahkan kematian.
World Air Quality Report merilis sebuah data terbaru hasil penelitian Greenpeace terkait kualitas udara di Jakarta. Disebutkan, konsentrasi PM 2,5 tahun 2018 tingkat polusinya mencapai 45,3 g/m3. Artinya konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO, yakni 10 g/m3.
Bukan lagi rahasia memang, meningkatnya volume kendaraan yang beredar setiap hari di Jakarta sungguh menakjubkan. Tak heran jika kemacetan menjadi pemandangan yang lumrah di Jakarta. Merujuk data dari dinas pajak, pertumbuhan kendaraan baru di Jakarta setiap harinya mencapai 1500 unit. Paling besar disumbangkan oleh sepeda motor dengan jumlah 1200 unit, dan roda empat sekitar 300 unit.
Namun data terkait sumbangan asap kendaraan yang telah membawa banyak dampak buruk, melulu oleh sejumlah kalangan disanding-sandingka dengan bahaya asap rokok. Bahkan pemberitaan media tak luput melariskan kemoronan tersebut.
Rokok kerap dituding sebagai penyebab tingginya angka penyakit dan kematian. Sementara fakta yang tak dapat dibantah, di antara lainnya hasil penelitian yang dipublikasikan di European Heart Journal, bahwa polutan yang berasal dari bahan bakar fosil adalah penyebab terjadinya penyakit seperti serangan jantung dan stroke.
Fakta ini jelas bukanlah isapan jempol belaka. Gaya hidup masyarakat perkotaan menjadi faktor mendasar yang kerap menjadi sorotan. Kita tentu sepakat bahwa tak ada produk konsumsi yang tak memiliki faktor risiko. Rokok sekalipun. Namun pencemaran udara yang disumbangkan oleh hasil bahan bakar fosil mesti diakui pula sebagai satu kebenaran yang tak terbantahkan.
Konyol belaka bagi masyarakat yang terlanjur termakan kampanye kesehatan dan melulu percaya bahwa rokoklah sumber utama dari meningkatnya angka penyakit kardiovaskuler, bahkan disebut-sebut sebagai pembunuh utama. Tak akan mudah memang bagi kalangan yang kepalang menilai rokok hanya berdasar kampanye kesehatan yang dilancarkan antirokok. Karena rokok telah dibingkai mereka sebagai musuh terbesar.
Sebagai perokok tentu kita memiliki kesadaran tersendiri dalam menyikapi produk legal yang kita konsumsi. Bukan serta merta pula memvonis pihak lain secara serampangan, misalnya lantas saja pengguna kendaraan bermotor dimisuhi dan dimusuhi. Dicap sebagai biang kerok dari persoalan buruknya kualitas udara. Jika begitu tentu kita tidak ada bedanya dengan kalangan antirokok. Para perokok juga banyak yang menggunakan kendaraan pribadi. Bisa dibilang turut menyumbang persoalan polusi udara di Jakarta. Patut kita sadari pula itu.
Maka dari itu, harus ada satu upaya konkret kita untuk menyikapi persoalan polusi udara. Setidaknya ya mulai mengeleminir peningkatanya lah. Misalnya dengan membiasakan diri berlaku santun dalam merokok, sadar waktu sadar tempat, terutama lagi iya soal kebersihan lingkungan. Bagus lagi jika mulai membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Jika ada pilihan moda transportasi massal yang nyaman, misalnya MRT yang belakangan ini baru diluncurkan, kenapa tidak untuk kita mulai membiasakan diri memanfaatkan keberadaannya. Iya setidaknya dimulai dari yang paling sederhana itu.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024