Masih banyak memang permasalahan yang dihadapi anak-anak Indonesia, tentu saja itu menjadi pekerjaan rumah bagi banyak pihak. Artinya, tak hanya menjadi PR Pemerintah. Apalagi kita bangsa yang memiliki kemajemukan budaya dan belum sepenuhnya terintegrasi dengan tujuan-tujuan pembangunan masyarakat. Mulai dari persoalan akses pendidikan, krisis sarana literasi dan bermain, bahkan persoalan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak juga kerap mewarnai pemberitaan. Hal-hal semacam itu sesungguhnya yang perlu menjadi isu penting dan perlu jadi perhatian banyak pihak.
Peran LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia) dalam menyikapi isu-isu semacam itu tentu patut kita apresiasi, artinya tetap mengambil sikap kritis dan menawarkan solusi. Walau memang belum tentu semua bisa teratasi atau terselesaikan seturut ekspektasi banyak pihak. Termasuk pula dengan isu rokok yang berpotensi diakses oleh anak-anak. Terkait hal itu dalam perundangan yang ada sudah diatur dengan jelas, bahwa konsumen rokok ditetapkan batas usia kepatutannya, hanya diperbolehkan bagi mereka yang sudah berumur di atas 18 tahun.
Untuk itu sebagai perokok santun kita juga memberi porsi perhatian dengan tidak merokok didekat anak. Termasuk pula bersepakat, bagi ritel rokok untuk tidak menjual rokok kepada mereka yang belum cukup umur. Namun belakangan ketua LPAI, Kak Seto Mulyadi, menyampaikan satu kondisi dengan istilah ‘darurat rokok untuk anak-anak’ dalam sebuah pemberitaan.
Istilah itu dari segi bahasa saja sudah keliru menurut saya. Kecuali jika itu disebut dengan istilah ‘darurat kesehatan untuk anak-anak’. Artinya, anak-anak Indonesia berhak mendapatkan layanan kesehatan dan konsumsi gizi yang bersesuai dengan kebutuhan anak-anak.
Mengingat ini musim Pemilu, bagi saya isu-isu yang sebetulnya patut disebut ‘darurat’ di masa seperti ini dan perlu menjadi perhatian para pihak, adalah soal peran orang tua untuk tidak melibatkan anak ikut kampanye, itu satu di antaranya. Perlu pula menghimbau masyarakat untuk menggunakan bahasa kampanye yang ramah anak, bagi saya sebagai orangtua, dua hal itu jelas tak kalah penting. Agar kewarasan anak dalam menyerap bahasa (sebagai suplemen pembentuk kognisi manusia) tidak terdistorsi kepentingan politik kekuasaan.
Namun bagi Kak Seto hal itu justru tidak digencarkan untuk pula didorong menjadi perhatian para pihak terkait. Lebih lagi yang disampaikan beliau malah seputar kepentingan pengendalian peredaran rokok. Padahal terkait peredaran rokok serta iklan yang mempromosikan produk rokok, jelas sudah diatur di dalam PP 109/2012. Baik itu soal aturan jam tayang iklan sampai pada pembatasan untuk tidak menjual rokok kepada anak.
Apalagi sampai dikait-kaitkan untuk mengajak masyarakat bersinergi dalam upaya meratifikasi FCTC. Kok jadi tidak relevan Kak Seto ini dalam menyikapi persoalan yang dihadapi anak-anak Indonesia sesungguhnya. Karena pertama, poin-poin dalam traktat FCTC sama sekali tidak berelasi dengan persoalan riil yang menjadi concern LPAI. Kedua, bicara soal pengendalian produk olahan tembakau jelas sudah ada aturannya di Indonesia. Tinggal para pihak taat asas dan kosisten saja toh dalam penerapannya.
Jika menyinggung soal peran industri rokok yang dicap membawa kerugian bagi bangsa Indonesia, jelas pertanyaan maupun pernyataan senada itu sangat keliru. Industri rokok sejak dulu berbasis padat karya, memberi penghidupan bagi masyarakat banyak, tanpa menihilkan pula industri berbasis padat modal.
Industri rokok selama ini memberi andil pajak dan cukai untuk kelangsungan pembangunan serta membantu persoalan JKN, seperti halnya menambal defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Lain itu, industri rokok juga melalui CSR-nya tak sedikit memberi beasiswa bagi kelangsungan pendidikan anak-anak petani tembakau yang berprestasi. Pertanyaan sebaliknya, apakah langkah konkrit semacam itu justru merugikan bangsa ini? Apakah dengan diratifikasinya FCTC persoalan kesehatan anak segera teratasi? Itu sudah.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024