Pada konteks tertentu, aturan soal rokok adalah suatu hal yang perlu kita sepakati keberadaannya. Biar bagaimanapun rokok adalah produk konsumsi yang bisa saja mengganggu kenyamanan orang lain. Karenanya, memang diperlukan regulasi yang bisa mengatur harmoni di tataran masyarakat tatkala berurusan dengan rokok. Walau kemudian, rasanya aturan yang dibuat semakin menyimpang dari tujuan menciptakan harmoni tersebut.
Misalnya, larangan merokok di dalam rumah yang berlaku di Kampung Jambangan Kota Surabaya, itu adalah sebuah contoh penyimpangan kekuasaan pada sebuah regulasi. Yang begini tentu saja merupakan suatu penyimpangan dari tujuan dibuatnya aturan soal rokok. Bukan saja menyimpang dalam tujuan, tapi juga ngaco logika hukumnya.
Jadi begini, regulasi itu dibuat dengan tujuan mengakomodasi kepentingan dan menjamin hak masyarakat. Karena itulah, di UU 36 tahun 2009 terdapat perintah untuk menyediakan ruang merokok di tempat kerja dan tempat umum lainnya. Semua ini dilakukan agar masyarakat yang tidak merokok tidak terganggu oleh asap rokok, dan tentu saja yang merokok tetap bisa mendapatkan haknya.
Sialnya, kian hari pemahaman ini semakin ditinggalkan oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk membuat aturan. Sikap ‘memaksa’ orang lain malah menjadi hal yang dikedepankan. Padahal, sikap seperti ini justru membuat resistensi jadi meningkat.
Dampak tersebut sebenarnya telah diakui oleh penggagas aturan larangan merokok di Kampung Jambangan. Ada masyarakat yang menolak larangan semacam itu. Lah, siapa juga yang mau dilarang-larang melakukan sesuatu yang tidak merugikan orang lain di dalam rumahnya sendiri???
Dalam urusan yang lebih penting ketimbang rokok saja, regulasi tidak pernah mengatur seseorang untuk tidak melakukan sesuatu di rumahnya. Lah ini, sudah aturannya tidak punya kekuatan hukum, kok ya berani-beraninya mengatur hidup seseorang di rumahnya sendiri. Jadi melanggar hak privasi seseorang juga kan.
Mungkin mereka beranggapan bahwa merokok itu merugikan orang lain. Karena itulah, merokok di manapun itu harus dilarang. Tai ya itu kan pendapat mereka. Kalaupun merokok dianggap dapat mengganggu kenyamanan orang lain, ya kan tinggal diatur ruang mana saja yang diperbolehkan untuk merokok. Gitu aja kok repot.
Hal kayak gini tanpa perlu dibikin aturan sebenarnya sudah selesai hanya dengan perbincangan antar anggota keluarga. Di keluarga saya, misalnya, orang boleh merokok hanya di kamarnya sendiri atau di ruang depan. Di luar tempat yang sudah disebutkan, boleh selama tidak ada orang di sana. Tanpa melanggar hak privasi, urusan jadi lancar. Begitu saja, dan permasalahan terkait merokok ini sudah selesai.
Justru ketika hal-hal yang bisa selesai secara kultural macam tadi dilegitimasi menjadi sebuah aturan, dan larangan tertulis, orang-orang menjadi antipati dan tidak mau mengikutinya. Apalagi, jika aturannya merugikan pihak-pihak tertentu, terutama ketika melanggar hak privasi masyarakat. Kan percuma aturannya dibuat kalau kemudian ditolak dan tidak dijalani masyarakat.
Sebenarnya, jika memang mau mengajak perokok agar tidak lagi merokok sembarangan, ketimbang membuat larangan-larangan tiada henti mbok ya kalian edukasi mereka. Berbicaralah pada mereka, bahwa merokok di angkutan umum, merokok ketika berkendara, atau merokok di kantor kelurahan adalah hal yang punya risiko mengganggu kalian. Katakanlah pada perokok, jika mau merokok lihat-lihat keadaan sekitar dulu, merokoklah di tempatnya. Kalau yang seperti ini bisa kalian lakukan, saya kira para perokok bakal memilih untuk merokok dengan santun.
- Kenapa Orang Merokok Buang Puntung Sembarangan? - 2 August 2021
- Anak Petani Tembakau Rentan Penyakit? - 25 June 2021
- Iklan Rokok Buat Kecanduan, Kegilaan Lain Antirokok - 24 August 2020