Press ESC to close

Momentum Antirokok Menjual Program Pengendalian Tembakau Pada Pilpres 2019 

Sebagaimana yang kita ketahui, rokok selalu menjadi kambing hitam dalam persoalan kesehatan. Narasi kesehatan kerap menempatkan rokok dan perokok berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan agenda kesehatan pemerintah. Bahkan, pada momentum politik seperti pemilihan presiden (pilpres) 2019, pembicaraan tentang rokok tak luput menjadi bagian dari dagangan politik. Para agen antirokok menjadi tokoh utama dalam kampanye buruk menyoal rokok.

Tim sukses kedua pasang Capres-Cawapres, baik Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi turut ambil bagian untuk menjual program yang berkenaan dengan IHT. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di sejumlah laman berita berulang bunyi menyoal rokok dan kesehatan.

Tak ketinggalan, lembaga seperti YLKI serta IISD (Indonesia Institute For Development) turut memanfaatkan momentum Pilpres 2019 untuk mendesakkan agenda yang menyasar keberadaan IHT. Secara umum Sudibyo Markus dari IISD mengajak peran media untuk terlibat lebih dalam mensukseskan kepentingan antirokok, dengan dalih kesehatan dan melihat ancaman IHT yang dinilai berdampak terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat. Keikutsertaan media tengah diarahkan untuk pula mengembangkan kebijakan seturut agenda tersebut.

Coba itu, selama ini sebagaimana yang kita ketahui juga, hampir semua media tak pernah berhenti melariskan stigma buruk terhadap perokok. Bahkan turut menebalkan narasi-narasi kesehatan yang menyoal rokok. Meski di balik itu, banyak media juga mengambil keuntungan dari industri rokok melalui iklan  rokok. Jelas paradoks ini menampakkan betul watak duamuka industri media dalam menyikapi isu rokok.

Lebih lanjut Tulus Abadi sebagai representasi dari YLKI mendesak kedua pasang Capres-Cawapres untuk berani bicara soal pengendalian tembakau. Bahkan Ia menuding, presiden Jokowi selama ini luput perhatiannya terhadap persoalan kesehatan dan sumber daya manusia.

Baca Juga:  Buruh Linting Dihantui Virus dan PHK, Negara Bertanggung Jawab

Padahal nih ya, Pak Tulus, perlu situ ketahui bahwa sumbangsih besar Industri Hasil Tembakau (IHT) bagi perekonomian Negara jelas sangat membantu masyarakat, itulah salah satu alasan mengapa rokok perlu perlakuan khusus. Terkait perhatian pemerintah akan kesehatan salah satunya pemerintah sudah melakukan satu upaya penyelamatan tehadap persoalan defisit BPJS Kesehatan.

Bahkan sampai diterbitkannya peraturan presiden yang mendukung Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. Jika itu tidak dinilai sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap persoalan kesehatan masyarakat di mata Tulus Abadi. Maka jelas sudah isi kepalanya disesaki oleh keburukan pemerintah saja.

Mungkin menjadi penting kita ketahui juga, bahwa di masing kubu Timses ada sejumlah nama yang merupakan agen antirokok. Sebut saja Prof. dr. Hasbullah Thabrany, akademisi dari UI yang selama ini getol mendorong agenda yang berkenaan dengan rokok dan IHT. Pada beberapa waktu silam, sempat memicu munculnya kegaduhan tentang harga rokok 50 ribu perbungkus.

Sebagai bagian dari Tim Kampanye Nasional, Hasbullah Thabrany tetap pula getol mendorong harga rokok menjadi mahal dan semakin sulit dijangkau masyarakat. Meski dalihnya dengan harga rokok menjadi mahal maka pemerintah bakal untung banyak dari pemasukan cukai. Justru wacana itu akan memicu peredaran rokok ilegal semakin merajalela, konsumen sudah barang tentu akan memilih rokok yang harganya terjangkau oleh mereka.

Harga rokok ilegal memang murah. Karena tak perlu membayar cukai, artinya negara tak mendapat pemasukan dari situ. Lebih jauh lagi dampak kenaikan cukai yang tinggi akan membuat industri rokok golongan kecil akan bertumbangan. Industri semacam itu adalah sektor ekonomi padat karya yang harusnya tetap dilindungi. Bukan malah dibikin mati. Jelas hal itu bertentangan dengan visi Jokowi dengan Nawa Cita-nya.

Baca Juga:  Salah Paham Tulus Abadi Soal Ruang Merokok di Angkutan Umum

Sementara Netty Prasetyani, sosok yang juga dikenal sebagai Bunda Literasi Jawa Barat ini, yang dalam hal ini mewakili Tim Pakar Ekonomi Kerakyatan Badan Pemenangan Nasional (BPN), menyatakan bahwa jika Prabowo-Sandi memenangi kontestasi Pilpres 2019, berencana mengalihkan pertanian tembakau ke sektor pertanian lain.

Memangnya kalau dialihkan ke sektor pertanian lain apa akan menjamin kesejahteraan petani? Sebagaimana kita ketahui sektor pertembakauan yang juga ditunjang keberadaan industrinya, sejak dahulu terbukti lebih siap dan bertanggung jawab, terutama dalam menyerap dan mengelola hasil pertanian tembakau dari berbagai daerah di Indonesia. Jika petani tembakau beralih tanam, tentu itu akan berdampak besar terhadap sosial-ekonomi pertembakauan di Indonesia.

Misalnya saja petani tembakau jadi beralih menanam kentang, Okelah kentang bisa ditanam di musim kemarau, tetapi jelas bukan komoditas yang menguntungkan dibanding tembakau. Belum lagi jika kita bicara soal industrinya. Tentu jauh berbeda dengan andil industri rokok yang sudah memiliki akar sejarah budaya yang kuat di Indonesia. Sampai sini mestinya kita paham, bahwa momentum Pilpres 2019 ini menjadi kesempatan yang juga ditunggangi antirokok dalam upaya menggolkan agenda besarnya. Yakni memberangus sumber-sumber ekonomi lokal, dimulai dari sektor pertembakauan.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah