Press ESC to close

Menteri Perindustrian Menyebut Kretek Sebagai Produk Budaya Bangsa

Jika saja Haji Djamhari tidak menggunakan cengkeh sebagai konten rokok penyembuh sesak dadanya, mungkin cengkeh yang kita kenal sebatas untuk memenuhi kebutuhan bumbu dan pemanfaatan minyaknya saja. Iya boleh jadi, sarana penyembuh sesak dada itu akan hadir bukan dengan cara di-inhale selayaknya kretek.

Kretek adalah produk budaya yang muncul dari kebutuhan masyarakat. Kemudian berkembang menjadi industri yang pla mampu menghidupkan komoditas pendukung lainnya. Baik itu komoditas perkebunannya, industri kertas sigaretnya, komponen perisa, karton dan kardus, plastik kemasan, industri percetakan, periklanan, dst.

Intinya, Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia terus bertumbuh menjadi sektor bernilai tinggi bagi pemasukan negara. Sektor IHT di Indonesia  terbukti telah mampu memberi nilai tambah bagi komoditas lokal  dan para stakholdernya.

Wajar saja jika sektor primadona tersebut mampu menyerap tenaga sampai  5,9 juta pekerja. Setidaknya itu angka pekerja yang tercatat, 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara sisanya 1,7 juta pekerja di sektor perkeebunan. Berdasar data Kementerian Perindustrian.

Sebagai salah satu sektor manufaktur nasional yang memiliki kontribusi besar bagi negara, IHT kita  yang sebagian besar memproduksi kretek dengan berbagai varian produk ini sudah selayaknya mendapatkan posisi yang prestisus. Mengingat produk budaya ini juga sudah dikenal secara global karena nilai keunikannya. Keunikan yang dimaksud lantaran kretek memiliki nilai khas, kontennya memiliki cita rasa tersendiri, pula secara tata kelola dan tata niaganya. Di balik itu sejarah budaya yang melingkupi perkembangan kretek telah memberi sumbangsih pengetahuan bagi peradaban bangsa.

Baca Juga:  Semangat Komisi IX DPR RI Menggantung Leher IHT dengan RUU Kesehatan

Walaupun dari berbagai demensi sektor IHT di Indonesia mendapat pelbagai serangan dari rezim antitembakau yang kerap menggunakan narasi kesehatan sebagai upaya pelemahan dan keterancaman. Bukan tidak mungkin itu akan berdampak terhadap keberadaan pekerja serta kelangsungan kretek sebagai sumber penghidupan.

Melihat kenyataan itu mestinya keberpihakan pemerintah tidak sebatas mengelola devisa yang didapat dari cukai rokok. Sudah seharusnya ada upaya lebih terkait perlindungan terhadap keberadaan produk kretek, semisal mendorong produk kretek masuk daftar Intangabel Cultural Heritage. Hal ini jelas menuntut kerjasama berbagai pihak.

Apalagi pihak Kemeterian Perindustrian, melalui Menteri Airlangga Hartanto menyebutkan, “IHT merupakan bagian sejarah bangsa dan budaya Indonesia, khususnya rokok kretek. Pasalnya, merupakan produk berbasis tembakau dan cengkeh yang menjadi warisan inovasi nenek moyang dan sudah mengakar secara turun temurun.” Ujarnya pada kesempatan lalu.

Jika saja pemerintah mau lebih perhatian terkait warisan budaya bangsa, tentu bukan lagi sebatas tebar pernyataan formal saja, yang artinya sudah disertai upaya konkret agar produk budaya kita tak lagi disemana-menakan oleh kepentingan lain yang ingin melemahkan. Lebih lanjut, generasi Indonesia kelak pun akan semakin memiliki kebanggaan (dignity) terhadap produk budaya leluhurnya. Maka tak hanya stakeholder pertembakauan saja yang akan turut digembirakan. Haji Djamhari di alam keabadian pun akan turut tersenyum bahagia.

Baca Juga:  Cukai Rokok Adalah Uang Panas

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah