Press ESC to close

Bisnis Rokok Elektrik Kini Mulai Memanfaatkan Peran Pejabat Daerah

Vape alias rokok elektrik hanyalah satu diantara sekian produk alternatif tembakau yang menjadi jalan untuk merebut pasar perokok di Indonesia. Lihat saja dalam banyak pemberitaan, isu yang diangkat ialah wacana bahwa vape lebih sehat karena tidak dibakar. Lebih sehat karena menggunakan ekstraksi tembakau, lebih sehat karena ini bukan rokok konvensional. Walau kemudian, oleh sebagian kalangan kesehatan rokok elektrik tetaplah rokok yang dianggap berbahaya.

Setelah wacana tersebut dianggap berhasil merebut pasar perokok, aksi lanjutan dari agenda bisnis nikotin itu beralih ke arah yang lebih strategis: mendorong regulasi. Nah, yang perlu dipahami, dorongan soal regulasi rokok elektrik ini tidak main-main. Bukan hanya mendorong regulasi yang mengatur penjualan atau tarif cukai, tetapi juga mengupayakan produk tersebut mendapatkan legitimasi di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya Bali.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nyoman Dhamantra mendukung keberadaan produk tembakau alternatif karena tidak memiliki kandungan tar. Bahkan Nyoman sendiri mengharapkan Pemprov Bali untuk melakukan sosialisasi dengan memainkan beberapa langkah untuk membawa keberadaan vape di Bali lebih populer dan meluas. Celakanya, dalih pembenaran yang diangkat adalah untuk mengurangi dampak negatif dari rokok terhadap masyarakat. Disebut-sebut juga sebagai alat terapi untuk menghilangkan kecanduan rokok.

Baca Juga:  Maurizio Sarri dan Kesalahan Perokok

Padahal ya kalau perokok kemudian berhenti dari kecanduan rokok. Tentu saja seturut skema bisnis mereka perokok lalu kecanduan vape. Jelas betul bahwa selama ini isu kesehatan hanyalah tameng belaka. Masih dalam upaya melariskan rokok elektrik, anggota DPRD tersebut mengait-ngaitkannya dengan program Pemprov bali dalam upaya mewujudkan Bali Bersih.

Boleh dikata, Nyoman Dhamantra ini anggota DPRD yang merangkap agen pelaris produk rokok elektrik. Karena mungkin dia tahu betul nilai potensial dari bisnis itu. Iya tak heran juga sih, kalau sekelas anggota DPRD harus punya bisnis sampingan untuk tetap bisa membiayai kelangsungan posisinya. Beberapa kepala daerah di Indonesia juga tak jarang menampakkan sikapnya sebagai agen antirokok. Sebut saja yang paling menonjol Bima Arya.

Namun tentu yang patut kita telaah dalam konteks ini bukan semata soal politik dagang dari produk rokok elektrik. Isu kesehatan memang sejak dulu hanyalah kedok untuk memonopoli komoditas primadona yang Indonesia miliki. Dulu pada komoditas kopra salah satunya.

Yang juga patut diwaspadai dari sinyal dagang itu adalah terancamnya keberadaan petani cengkeh di Bali nantinya. Karena serapan cengkeh untuk industri kretek jelas bakal mengalami kelesuan ketika pasar perokok beralih mengonsumsi rokok elektrik. Memang tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Namun dari munculnya anggota DPRD yang ikut mendorong kelangsungan rokok elektrik dapat kita tengarai bahwa agenda bisnis rokok elektrik kini mulai memanfaatkan peran pejabat daerah.

Baca Juga:  Naiknya Penerimaan Cukai Rokok di Masa Pandemi

 

Fauzan Zaki

Hanya manusia biasa