Selama ini isu perokok pasif selalu dijadikan senjata utama bagi antirokok. Mereka selalu mereproduksi mitos-mitos dari penelitian lama yang sudah tidak relevan. Dengan memanfaatkan keberadaan orang yang tidak merokok, mereka menuduh para perokok sebagai pembawa petaka bagi sekitarnya. Sekali lagi data yang mereka gunakan selalu saja data usang yang derajat kebenarannya sangat rentan.
Belum lama ini misalnya, sebuah laman berita mengangkat hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Persahabatan yang dilakukan di Jakarta Timur tahun 2014 menemukan, kadar karbon dioksida atau CO2 dari beberapa ibu rumah tangga yang tidak merokok, angkanya mencapai dua kali lipat dibandingkan mereka yang benar-benar tidak terpapar.
Padahal nih ya (tiada maksud membandingkan anak ayam dan induk elang), salah satu data hasil penelitian di Amerika Serikat yakni dari Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat. Disebutkan, perokok pasif memiliki dampak kesehatan yang tidak kalah dari perokok aktif. Mereka mengklaim perkara Perokok Pasif merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, yang membunuh sekitar 3.000 non perokok Amerika setiap tahun akibat kanker paru-paru. Perlu diketahui lagi, data ini sudah sejak lama terbantahkan, jauh sebelum hasil penelitian RS Persahabatan dilakukan.
Nih biar lebih terang, bahwa hasil penelitian EPA itu menuai kritik dari Congressional Research Service (CRS) USA. Pada November tahun 1995, CRS merilis laporan analisis kritis terhadap metode dan kesimpulan EPA setelah melalui studi selama 20 bulan. Kemudian pada tahun 1998, hakim federal menyatakan riset EPA batal dan tidak berlaku.
Konyolnya lagi dari laman tersebut terdapat pernyataan dokter Agus Dwi Susanto, spesialis paru dan ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, bahwa kadar nikotin dalam urine pada perokok pasif berkali-kali lipat lebih tinggi ketimbang mereka yang tidak terpapar. Duh, susah naik kelas banget ini antirokok, entah terbuat dari apa susunan isi kepalanya. Itu data yang dirilis EPA saja sudah tidak berlaku sejak 1998, ini lagi hasil penelitian RS Persahabatan tahun 2014 yang dijadikan acuan.
Kalau boleh blak-blakan, derajat hasil penelitian RS Persahabatan ini jauh lebih rendah nilai kebenarannya. Bukan apa-apa sih, ini kita konyol-konyolan saja lah ya, dalam sebuah penelitian peran sample dan kewilayahan (demografi) sangatlah menentukan hasil. Mana tahu subyek dari lokus penelitian sebelumnya habis makan daging terong pakai sayur kol, jadi urinenya mengandung nikotin deh.
Seperti yang sudah kita ketahui, beberapa jenis sayuran seperti terong, tomat, kol, kentang, dlsb, terdapat kandungan nikotinnya. Tahu sendiri kan, bos, orang Indonesia lahap betul makan sayur olahan apalagi kalau sudah pakai sambal balado. Sama halnya dengan berita-berita olahan, asal ada pernyataan pesohor dan dibumbui data penelitian, perkara valid atau tidak itu urusan nanti. Seketika saja berita semacam itu laris dilahap.
Sebagai perokok, kita tentu sepakat jika tidak benar merokok di sembarang tepat. Apalagi jika kita mendaku diri perokok santun, sudah tentu kita harus menghargai hak masyarakat yang tidak merokok. Bahwa perokok berpotensi menganggu hak orang lain betul. Karenanya para perokok santun terus bekerja keras untuk mengajak semua perokok agar tidak lagi merokok di dekat anak kecil dan ibu hamil,tidak merokok di KTR, tidak merokok saat berkendara, dan sebagainya. Upaya ini dilakukan agar setiap warga negara dapat terjamin haknya. Gerakan positif semacam ini kok ya banyak media yang enggan melariskannya. Ada apa coba, ada apa? *bertanya di hadapan kaleng biskuit
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024