Press ESC to close

Sanksi Denda Pada Wacana Penerapan Perda KTR Surabaya Berpotensi Menimbulkan Resistensi Perokok

Perda KTR Surabaya yang sudah disahkan bukan hanya melarang aktivitas orang merokok. Kegiatan promosi dan penjualan rokok pun tidak diperbolehkan. Kabarnya Perda KTR Surabaya sudah disahkan sejak awal Mei lalu. Di dalam ketentuannya juga mewajibkan adanya area merokok bagi tempat-tempat yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Namun di balik itu ada hal yang kita sesali, yakni menyangkut wacana sanksi denda yang ditimpakan kepada pelanggar.

Tidak tanggung-tanggung besaran denda itu ditetapkan sebesar Rp 250.000. Sistem sanksi denda ini secara langsung mendudukkan pelanggar KTR layaknya pelaku kriminal. Tentu ini satu hal yang berpotensi kurang baik. Memang secara bahasa hukum sistem itu bersifat tindak pidana ringan (Tipiring). Jika memang motif dari penerapan sanksi denda ini untuk memberi efek jera, terus terang saja tidaklah tepat.

Jika memang menginginkan efektifitas dari suatu regulasi, apalagi ini demi mengatur aktivitas orang merokok. Seyogyanya pihak pemerintah Kota Surabaya melakukan sosialisasi secara menyeluruh, termasuk soal diwajibkan tersedianya area merokok bagi institusi ataupun tempat-tempat yang ditetapkan sebagai KTR. Agar pada penerapannya tidak terjadi benturan pemahaman dengan para pihak. Alangkah baiknya lagi asas edukasi yang dikedepankan. Misalnya dengan memberi teguran kepada pelanggar. Teguran yang tanpa harus menyulitkan atau mempermalukan pelanggar. Pada umumnya perokok juga memiliki kesadaran jika diingatkan.

Baca Juga:  Membedah Hukum Merokok dalam Islam

Komunitas Kretek selama ini dalam kampanyenya terus menebar edukasi tentang perokok santun. Dengan terus menyuarakan asas edukasi itu perokok akan paham bagaimana sebaiknya menempatkan diri. Misalnya ketika tengah berada di lingkung penyelenggaraan pendidikan, maupun ketika berada di antara ibu hamil dan anak-anak, ataupula terkait merokok saat berkendara. Jika yang diberlakukan berupa sistem sanksi denda, bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan resistensi dari perokok.

Tentu saja ada langkah-langkah pemerintah Surabaya yang patut diapresiasi dalam upaya mencipta rasa keadilan di masyarakat. Salah satunya dengan juga mewajibkan tersedianya area merokok di lingkup KTR. Bahkan kemudian akan menindak pula institusi yang tidak menyediakan area merokok di ruang terbuka. Meski sebetulnya upaya tersebut perlu dievaluasi lagi, bilamana ketersediaan area merokok itu justru menjadi sulit diakses perokok lantaran jaraknya yang jauh dari gedung utama, hal itu sama halnya dengan mengucilkan perokok. Perlu diketahui pula, bahwa asas penyediaan area merokok bukan untuk mengucilkan perokok.

Hal ini bukan berarti kita menihilkan kerja-kerja pemerintah Kota Surabaya terkait Perda KTR. Para perokok pun pada umumnya tidak keberatan menaati peraturan yang ada. Dengan catatan, sejauh peraturan yang berlaku tidak diskriminatif. Sistem sanksi berupa denda uang tersebut boleh jadi nantinya ditafsir sebagai bentuk pemerasan bagi mereka yang tidak terima. Namun lain halnya kalau sosialisasi dan edukasi sudah lebih dulu diterapkan, setidaknya dengan memberi teguran. Lalu mendata pelanggar agar kelak jika kedapatan lagi akan dikenai peringatan lain ataupula jatuh sanksi. Seberusaha mungkin kedepankan edukasi agar tak ada pihak yang merasa didiskriminasi.

Baca Juga:  Mengapa Kabupaten Berau Layak Dijadikan Contoh Penanganan Perda KTR?

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah