Sebatang kretek bukan semata rokok, yang dalam konstruksi pikiran umum hanya sekadar gulungan tembakau dan berasap. Bagi saya kretek dengan kontennya yang demikian komplit, dimana terdapat tembakau dan cengkeh di dalamnya. Mengandaikan adanya dua sumber ‘energi’–tembakau telah diakui sejumlah ahli memiliki manfaat secara medis. Demikian pula cengkeh yang kekal digunakan sebagai bumbu masak dalam peradaban kuliner dunia.
Energi yang saya maksud juga mengandaikan adanya harapan dari para pelaku ekonomi di sektor kretek. Kretek merupakan produk budaya, memiliki konsumen loyal. Kretek kerap terlibat ambil bagian mengikat peristiwa-peristiwa penting kita, mencairkan keinginan-keinginan yang banal dan kadang mampet.
Ketika kita mampu menangkap adanya energi harapan dari sebatang kretek. Harapan akan kelangsungannya. Secara alamiah kita tak lagi sebatas konsumen. Artinya, kita telah turut andil menjadi pelestari budaya. Hal ini berpijak dari kehendak untuk bersumbangsih terhadap kelanjutan sebuah peradaban. Peradaban tanpa harapan hanyalah kesia-siaan yang tak layak dipertahankan.
Sebagaimana kita ketahui, petani dan buruh kretek bekerja tak sebatas menafkahi keluarga. Lebih luhung dari itu, menafkahi pula negara. Negara mendapat keuntungan lebih dibanding yang didapat pihak industri. Dari situlah persoalan BPJS dapat terbantukan, pembangunan daerah penghasil tembakau turut dicukupi berkat dana cukai yang terserap.
Seturut makna harapan itulah, sebatang kretek di tangan kretekus niscaya mengisyaratkan adanya realitas masa depan. Kretek tanpa pasar pendukungnya tentu tidak akan berjalan membanggakan, hal ini yang senantiasa kita jaga sejurus untuk menafkahi harapan banyak pihak.
Industri kretek sebagai penghasil devisa besar bagi negara kini tengah menghadapi berbagai gempuran. Tidak hanya digempur oleh regulasi-regulasi yang diskriminatif, namun juga tengah diganggu oleh keberadaan produk-produk rokok alternatif yang mendalilkan produknya lebih sehat.
Isu kesehatan yang menjadi alat kampanye untuk mendiskreditkan konsumen rokok, telah kita ketahui sebagian pembiayaannya didapat dari keuntungan DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau). Bukankah dari sini kita juga dapat menengarai adanya kerja para aktor yang bermain dalam memanfaatkan regulasi yang ada.
Jika kita sudah sampai pada pemahaman ini, sungguh apa yang tengah diperjuangkan konsumen kretek (baca: pelestari budaya) adalah upaya mendedikasikan diri untuk senantiasa merawat nilai-nilai kebudayaan yang terancam. Iya memang hakikat kebudayaan bergerak dinamis, namun produk kretek sebagai identitas bangsa harus pula kita pertahankan.
Para pelestari budaya semacam kita tentu tidak akan rela jika produk kretek pada akhirnya dipunahkan oleh peradaban konyol. Peradaban yang menihilkan nilai-nilai yang tersimpan dalam produk kretek. Ingatlah, bahwa kelahiran kretek berangkat dari kehendak menyembuhkan. Bukan itikad membinasakan kelangsungan generasi. Jika hal ini sudah mampu kita maknai, maka bersetialah sebagaimana pelestari budaya lainnya. Kretek sebagaimana kopi, adalah juga monumen historis yang telah menjadi bagian dari pengikat hubungan kita dalam dunia sosial. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika kita memaknai kretek sebagai energi masa depan yang dititipkan dari isapan ke isapan penikmatnya.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024