Press ESC to close

Mendesakkan Kepentingan FCTC Melalui Stigma Negatif Terhadap Produk Berbasis Nikotin

Tiada henti media mem-framing nikotin sebagai zat berbahaya yang mematikan. Nikotin adalah zat yang dikandung pada tembakau dan jenis vegetasi lainnya. Tudingan negatif terhadap nikotin itu kerap menyasar produk berupa rokok konvensional. Tak luput juga nikotin yang terdapat pada rokok relektrik. Bahkan asap yang dihasilkan pula dinyatakan sama bahayanya.

Bebarapa waktu ini kembali mengemuka isu terkait bahaya asap rokok elektrik yangdinyatakan dapat memicu respons stres dalam sel induk saraf.  Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of California menyebut cairan untuk vape dapat menyebabkan mitochondrial hyperfusion (SIMH) yang diinduksi stres. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal iScience itu menyatakan pula, stres dapat menyebabkan kematian sel atau penyakit.

Isu terkait bahaya kesehatan yang mengancam para pengguna rokok elektrik tentu bukan lagi hal baru. Seperti yang juga kita ketahui, rezim antitembakau sudah sejak lama melancarkan misi perang dagangnya melalui produk berbasis nikotin. Tujuan utama dari skema yang dilancarkan rezim antitembakau untuk menyasar paten atas nikotin. Ketika nikotin dapat sukses dipatenkan maka nantinya rezim itulah yang memonopoli  peredaran serta porsi penggunaannya.

Baca Juga:  Sesat Pikir KPAI Terkait Tuduhan Eksploitasi Pada PB Djarum

Isu kesehatan kerap digunakan sebagai cara mengubah persepsi konsumen atas produk yang dikonsumsinya. Brengseknya, pemberitaan yang mengangkat isu tersebut kerap tidak berimbang. Bertendensi menakut-nakuti konsumen rokok konvensional maupun rokok elektrik. Bahkan dikotomi sehat tidak sehat pun dimainkan dalam upaya membenturkan dua produk yang memiliki latar sejarah budaya berbeda ini.

Lebih jauh lagi isu tersebut telah mencipta stigma yang berlebihan. Publik luas yang termakan isu tersebut banyak yang lekas percaya sepenuhnya. Enggan menilik lebih jauh terkait skema apa sebetulnya yang tengah terjadi dan berlangsung demikian masif.

Jika kita telisik lebih lanjut, isu kesehatan yang diangkat dan terus didorong itu jelas mengarah untuk diksesinya sebuah regulasi. Perhatian masyarakat dikondisikan untuk melihat adanya urgensi terkait bahaya asap rokok dan nikotin. Seperti yang kita tahu juga, traktak FCTC adalah produk regulasi global yang di dalamnya terdapat klausul-klausul pengendalian tembakau. Traktat tersebut sampai hari ini masih terus didorong oleh para pegiat antitembakau untuk segera diaksesi di Indonesia.

Indonesia memiliki produk unggulan bernama kretek. Produk tersebut berbahan baku tembakau dan cengkeh, komoditas perkebunan ini menjadi sumber penghidupan banyak pihak. Negara mendapatkan pemasukan besar dari produk kretek. Industri kretek adalah industri padat karya yang telah menghidupi perjalanan sejarah dan budaya bangsa kita. Jelas dari sisi ini kita sangat berkepentingan terhadap tembakau dan produk yang dihasilkannya.

Baca Juga:  Rokok Menyebabkan Kemiskinan adalah Kebenaran Mutlak

Publik global yang termakan isu kesehatan kerap hanya menilai bahaya rokok dari sisi kesehatan. Tidak semua tergugah untuk melihat secara ekonomi politik, bahwa isu kesehatan yang mendiskreditkan rokok hanyalah alat tunggangan untuk menggolkan kepentingan industri yang obsesif memonopoli paten nikotin. Yup. Industri farmasi satu-satunya industri yang obsesif untuk menguasai pasar nikotin. Berbagai cara ditempuh, termasuk upaya menghadirkan program pengentas kecanduan terhadap rokok. Namun kepentingan itu tidak akan sukses sepenuhnya jika traktat FCTC tidak diaksesi di Indonesia.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah