Press ESC to close

Pelarangan Merokok di Pesantren Juga Harus Taat Asas, Jangan Meluas Jadi Melarang Warga Merokok

Kampanye kesehatan di wilayah institusi pendidikan termasuk pesantren belakangan tengah giat didorong oleh lembaga-lembaga antirokok. Dalam upaya tersebut pihak ulama dan ormas keislaman pun dilibatkan. Gus Sholah yang juga dikenal sebagai adik kandung mendiang Gus Dur turut ambil bagian menyuarakan kepentingan kesehatan itu.

Agenda deklarasi dukungan terhadap pengendalian rokok yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) bekerja sama dengan Komnas Pengendalian Tembakau itu berlangsung di pesantren Tebuireng, Jawa Timur. Tak ketinggalan organisasi Fatayat NU Jawa Timur turut dilibatkan berkomitkmen terhadap poin-poin pelarangan dan pengendalian rokok.

Gus Sholah selaku pengasuh pesantren Tebuireng dengan antusias menyuarakan poin-poin dekalrasi pengendalian rokok yang juga ditandatangi ketua Fatayat NU Jawa Timur, Dewi Winarti. Dua poin yang disampaikan Gus Sholah itu berupa desakan kepada pemerintah untuk menaikkan harga rokok. Serta menetapkan larangan merokok di sekolah dan pesantren. Lebih jauh lagi sampai melarang warga setempat merokok.

Alasan dari desakan untuk menaikkan harga rokok ini katanya agar rokok tidak terjangkau anak-anak. Jelas ini suatu hal yang absurd. Kita tentu tahu, harga rokok di Indonesia saat ini sudah terbilang mahal. Lagipun, kenapa jadi harga rokok yang harus terus didorong naik. Jika memang alasannya agar tidak terjangkau anak-anak, iya yang harus diberi arahan adalah orang tua untuk mengedukasi anaknya. Selain itu perlu mengedukasi pula warung rokok setempat, agar tidak menjual rokok kepada anak sekolah.

Baca Juga:  Rokok Ilegal dan Narkoba: Serupa Tapi Tak Sama

Celakanya, target pelarangan itu berlaku juga bagi tenaga pendidik bahkan warga sekitar pesantren. Waduh. Ini sih jelas kelewatan. Soal pelarangan merokok di di dalam wilayah sekolah kita tentu sepakat. Karena memang sudah diatur dalam PP 109/2012 terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR).  Namun dalam hal ini pihak pesantren maupun sekolah harus pula taat asas, bahwa penyediaan ruang merokok di KTR juga bagian dari amanat kontitusi. Perkara teknis pengadaannya bagaimana, iya tinggal diambil win win solution-nya.

Gus Sholah tentu bukan tidak paham, bahwa tembakau diciptakan yang Maha Kuasa bukanlah untuk suatu kesia-siaan. Ada manfaat medis yang dikandung pada tembakau. Ada nilai ekonomi dari produk legal bernama rokok. Apalagi warga Nahdliyin juga banyak yang bergantung hidup dari sektor pertembakauan. Tentu Gus Sholah paham hal ini. Bahwa ada persoalan ekonomi politik dalam negeri yang juga harus dibela, bukan malah jadi alat politik rezim kesehatan. Bicara soal rokok tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi kesehatan.

Baca Juga:  Tembakau dan Jawa Timur Dua Hal yang Tak Terpisahkan

Mestinya poin-poin yang didorong oleh lembaga-lembaga antirokok lebih dulu dipertimbang, jangan lantas dianut sepenuhnya sebagai misi suci kesehatan. Karena selama ini di balik kepentingan lembaga-lembaga antirokok terdapat agenda besar yang didanai farmasi asing untuk mematikan industri rokok dalam negeri secara bertahap. Isu kesehatan selalu menjadi dalih andalan mereka.

Alih-alih ingin melindungi anak sekolah dari paparan asap rokok, kok ya jadi meluas sampai melarang warga setempat untuk tidak merokok.  Jelas bertentangan itu dengan hak-hak warga yang dilindungi secara konstitusional. Apa nggak malu diketawai sama mendiang Gus Dur di alam sana, Gus. Almarhum Gus Dur dulu memiliki keberpihakan dan kontribusi yang nyata terhadap sektor kretek di Indonesia loh. Kok ya adiknya malah terlibat agenda antirokok yang mengancam kelangsungan kretek.

Ahmad Saeroji

Santri doyan ngerokok