Press ESC to close

Penggabungan Batas Produksi Rokok Berpotensi Menggeser Konsumen Rokok Dalam Negeri

Upaya pengendalian rokok di Indonesia kian hari kian terasa saja desakannya. Salah satu yang kerap menjadi dalil desakan itu adalah asumsi bahwa harga rokok di Indonesia terlalu murah. Dianggap gampang dibeli oleh siapa saja. Dalil semacam itulah yang kerap menjadi senjata antirokok dalam upaya mengendalikan rokok di Indonesia.

Tak pelak ketika Kementerian Keuangan berencana melakukan penggabungan batasan produksi rokok terhadap jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) segera direspon antusias oleh Abdillah Ahsan, peneliti dari Lembaga Demografi UI (LDUI). Perlu diingat, peneliti inilah yang dulu pernah melempar isu terkait harga rokok 50,000 perbungkus.

Penggabungan batasan produksi ini adalah salah satu tahapan proses simplifikasi cukai pada tahun 2020, yakni penyamaan tarif SKM da SKT. Namun sebelum sampai di target itu, perlu diingat bahwa penggabungan batasan produksi SKM dan SPM ini sebelumnya juga sudah diatur dalam Permenkeu 146/2017. Namun pada Desember 2018, Kemenkeu mengeluarkan PMK 156/2018 yang isinya menghapus Bab IV pada PMK 146/2017, yang mengatur tentang penggabungan batas produksi SKM dan SPM. Lha kok di tahun ini malah berencana digabungkan, publik tentu tidak semua mampu membaca ini sebagai sebuah penetrasi dari kepentingan tertentu.

Tak terhindarkan, sebagian besar konsumen nantinya akan terkena dampak dari rencana itu. Harga rokok (segmen SKM) merek tertentu menjadi mahal di pasaran. Sebagian perokok niscaya beralih ke merek yang sedikit lebih murah.

Baca Juga:  Kebijakan Menutup Display Rokok Itu Berlebihan

Pasca terbitnya PMK 146/2017 yang disusul dengan PMK 156/2018 sebetulnya telah membuktikan betapa lemahnya keberpihakan dan totalitas pemerintah dalam melindungi sektor IHT dalam negeri. Perlu diingat, tidak semua pabrikan yang memproduksi SKM di Indonesia adalah perusahaan bermodal besar, artinya tidak bisa disamakan dengan industri rokok putih (SPM) yang notabene adalah perusahaan asing.

Padahal jika kita tilik sebelumnya, pembagian atas golongan tarif cukai di Indonesia sudah diperhitungkan dengan matang. Dengan pembagian golongan perusahaan rokok kecil tidak akan membayar tarif cukai yang sama dengan perusahaan besar, tentu itu memberi cuaca usaha yang baik bagi perusahaan rokok kecil agar tetap bisa bersaing dan beroperasi. Namun pada gilirannya mereka jadi tak merasakan asas keadilan itu lagi.

Sekali lagi yang harus dicatat, rencana penggabungan batasan produksi yang akan menjadi tiga miliar batang ini adalah bagian dari peta jalan menuju simplifikasi cukai SKT dan SKM ke depannya. Berdasar aturan penggabungan itu nantinya pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Rofyanto Kurniawan, menyatakan bahwa tujuan dari penggabungan ini untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan. Menurutnya lagi, hal itu didasari oleh banyaknya layer tarif cukai di Indonesia, sehingga diasumsikan berpotensi disalahgunakan pabrikan rokok.

Sebagaimana kita ketahui Industri Hasil Tembakau di Indonesia jauh berbeda dengan banyak negara lain yang hanya mengenal rokok putih. Banyaknya golongan cukai rokok di Indonesia juga disebabkan beragamnya level industri rokok yang ada. Selain itu, ragam jenis produk rokok di Indonesia juga banyak. Ada kretek tangan, kretek mesin, juga rokok putih. Namun lambat laun nasib mereka akan mengalami keterpurukan akibat gempuran regulasi yang tidak berpihak.

Baca Juga:  Prosesi Pernikahan Kyai Pulung Seto dan Nyai Srintil

Ngeheknya, dalil yang dihembuskan antirokok selalu soal harga rokok yang harus dibikin semahal-mahalnya. Kalau sudah mahal, masyarakat diasumsikan tidak akan mampu lagi membeli, lalu akan  berhenti merokok. Padahal tidak selinear itu juga. Para pemain besar di bisnis nikotin telah menyiapkan produk pengganti sejak lama untuk merebut pasar perokok di Indonesia.

Ketika rokok menjadi mahal di pasaran, seiring kampanye kesehatan juga semakin masif. Pada gilirannya para perokok akan termakan agenda kepentingan industri bertopeng isu kesehatan. Mahalnya harga rokok menjadi variabel bagi konsumen untuk beralih. Apalagi produk alternatif tembakau itu dinarasikan sebagai produk pengentas kecanduan rokok. Konsumen tergiring masuk dalam perangkap perang dagang nikotin, seperti yang dijelaskan secara gamblang dalam buku Nicotine War, Wanda Hamilton.

Jibal Windiaz

anak kampung sebelah