Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data tentang kemiskinan di Indonesia sepanjang 2018. Mereka menyebutkan bahwa rokok menempati posisi kedua setelah beras sebagai komoditas yang memberi pengaruh besar terhadap garis kemiskinan. Data tersebut diluncurkan pada Senin (15/7/2019) dan kini mulai memantik komentar dari berbagai pihak termasuk Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Melalui pemberitaan yang muncul di Detik Health, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan bahwa rokok menentukan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut ia mengingatkan akan dampak kesehatan yang timbul dari mengkonsumsi rokok.
Data dan pernyataan tersebut ibarat dua tembakan beruntun pada konsumen dan produsen rokok. Satu data menyasar bahwa rokok dianggap bisa menyebabkan kemiskinan, satunya lagi menilai bahwa tak hanya bahaya kemiskinan namun ancaman kesehatan juga bisa dialami oleh penggunanya. Tuduhan-tuduhan tersebut sebenarnya tak asing karena pada 2015 lalu data-data serupa juga dimunculkan ke publik.
Bahkan lucunya data survei ekonomi nasional yang dikeluarkan BPS tersebut dengan blak-blakan memberi kesimpulan bahwa “Bila mereka tak merokok, bisa keluar dari garis kemiskinan”. Sangat menggelitik bukan? memang saat ini bahasa data tersebut diperhalus dengan indikator lain namun jika teliti melihatnya maka dipastikan subtansi data tersebut sama saja yaitu berniatan memberangus konsumsi rokok di Indonesia yang jelas merupakan barang legal.
Jika dikatakan konsumsi rokok di Indonesia tinggi maka memang budaya menghisap kretek merupakan kearifan lokal yang sudah turun temurun. Tak aneh jika melihatnya menjadi barang kedua yang dikonsumsi setelah beras yang juga komoditas lokal yang tak bisa lepas dari kebutuhan pangan masyarakat tanah air. Anung Sugihantono juga menyebutkan bahwa rokok menjadi bagian dari perilaku kesehatan bersama aktivitas fisik, cuci tangan, buang air besar di jamban, dan gosok gigi. Ya memang betul adanya tapi apakah kebiasan tersebut menjadi pengaruh akan kemiskinan dan kesehatan berkurang?
Menyatakan bahwa rokok menjadi biang kemiskinan adalah tindakan instan dari ruwetnya masalah pembangunan di Indonesia. Seolah-olah ketimbang membaca dan mengkritik sistem yang masih buruk, rokok dijadikan kambing hitam atas besarnya permasalahan. Lupa bahwa masalah minimnya peluang kerja, lahan tanam yang kian berkurang, serta budaya KKN masih saja ada di negeri ini.
Anggapan rokok penyebab kemiskinan juga seperti membantah pernyataan pemerintah lainnya. Saleh Husin selaku bekas Kementerian Perindustrian pernah menyebutkan bahwa industri rokok menyumbang terciptanya lahan pekerjaan. Bahkan dia menyebutkan ada sekitar 6,1 juta lahan pekerjaan terbuka dan rokok menjadi warisan nenek moyang serta budaya bangsa kita.
Selain menjadi sebuah produk legal, membeli sebungkus rokok juga memberi kontribusi terhadap pembangunan negara. Realisasi penerimaan cukai rokok per Desember 2018 tercatat Rp 120,62 triliun atau mencapai 81,37% dari target APBN 2018 sebesar Rp 148,23 triliun, angka yang fantastis bukan? harga cukai rokok yang mempunyai kebiasaan naik tiap tahun juga mempengaruhi angkanya, mesti sejatinya memberatkan namun kontribusinya terhadap pembangunan sangatlah luar biasa.
Pada akhirnya agaknya sulit menerima argumen bahwa rokok menjadi salah satu indikator penyumbang kemiskinan. Apalagi indikator tersebut berdasarkan jenis barang yang sering dibeli. Padahal bukankah kita sama-sama sepakat soal teori ekonomi bahwa Semakin tinggi tingkat konsumsi maka semakin makmur individu atau masyarakat itu. Sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi maka semakin miskin individu atau masyarakat tersebut.
- Rokok Lucky Strike, Cigarettes That Always Strike You! - 7 November 2021
- Apa Rokok Paling Enak Versi Perempuan? - 16 October 2021
- Rekomendasi Rokok Enak Untuk Pemula (Bagian 2) - 9 October 2021