Press ESC to close

Razia dan Perampasan Rokok di Serang Adalah Perbuatan Melawan Hukum

Peraturan daerah kawasan tanpa rokok atau yang biasa disebut Perda KTR merupakan acuan bersama yang menjembatani antara kebutuhan para perokok dan yang tidak. Sebagai sebuah peraturan, hal itu patut dipatuhi bersama agar menciptakan kenyamanan di antara para perokok dan yang tidak. Walau demikian, dalam perjalanannya peraturan ini masih belum efektif dalam penerapan. Terlebih banyak yang diterapkan justru hanya berupa kebijakan yang diskriminatif kepada para perokok dan melawan hukum.

Salah satunya di Kota Serang, Banten. Perda KTR mulai digalakkan di kota dengan 66 kelurahan tersebut sejak 2014. Penerapannya diakui oleh beberapa pihak belum maksimal. Hal itu diakui langsung oleh Koordinator Tim Monitoring Perda KTR, Toto Suharto. Alasannya adalah kurang kepeduliannya pihak aparat penegak di Kota Serang. Alih-alih belum maksimalnya penerapan Perda KTR, beberapa pihak mulai ambil cara sendiri yang dinilai sangat tidak bijak dilakukan kepada para perokok.

Media pikiran-rakyat.com dalam pemberitaannya yang rilis kemarin (21/8/2019) menyebutkan bahwa Rumah Sakit Drajat Prawiranegara (RSDP) melakukan pemusnahan terhadap ratusan bungkus dan batang rokok yang berhasil didapat dari razia Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di lingkungan rumah sakit. Hasil sitaan tersebut kemudian dikumpulkan lalu dibakar di depan halaman RSDP. Plt Direktur RSDP, Sri Nurhayati mengatakan, dengan adanya perampasan rokok bagi pengunjung yang kedapatan merokok di lingkungan rumah sakit ini, diharapkan dapat mengedukasi masyarakat.

Baca Juga:  Apa Sih Dampak Kenaikan Tarif Cukai Pada Perokok?

Tentu edukasi model seperti ini bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Mengingat impelementasi Perda KTR yang belum berjalan maksimal, sosialisasi tentu harus dilakukan ketimbang mengambil langkah dengan main hakim sendiri. Sri Nurhayati mengaku akan terus melakukan sweeping sebagai bentuk pembelajaran kepada masyarakat akan Perda KTR. Akan tetapi di sisi lain ia juga akan terus memberi edukasi kepada yang masih merokok.

Pernyataan Sri Nurhayati di atas tentu tumpang tindih. Kita sama-sama akui bahwa rumah sakit masuk di dalam kawasan tanpa asap rokok dan bahkan tidak diperbolehkan untuk mendirikan kawasan boleh merokok. Walau demikian, di tengah pemahaman dan penerapan Perda KTR yang masih belum maksimal tentu sosialisasi menjadi hal yang patut terus untuk digencar ketimbang sweeping yang berujung pada perampasan rokok milik seseorang.

Di sisi lain tak disebutkan adanya hukuman perampasan rokok bagi seseorang yang kedapatan merokok di daerah tanpa asap rokok. Dasar hukumnya adalah tiga poin di mana sanksinya hanya berupa teguran, lalu bagi Aparatur Sipil Negara akan didenda 500 ribu rupiah, dan 50 ribu rupiah bagi masyarakat biasa. Sekali lagi ditegaskan tidak ada sanksi berupa perampasan rokok apalagi dilakukannya dengan cara sweeping.

Baca Juga:  Ridwan Remin dan Premis Kerennya Soal Rokok

Pemahaman tentang aturan dan sanksi yang sesuai dasar hukum alangkah baiknya patut digalakkan. Kurang sadarnya aparatur penegak hukum tak boleh dijadikan alasan untuk berbuat lebih jauh bahkan dengan improvisasi sendiri yang justru bertentangan dengan aturan Perda KTR. Sweeping dan perampasan rokok justru seolah-olah memberi anggapan bahwa produk olahan tembakau tersebut adalah barang ilegal macam narkotika yang perlu dimusnahkan. Padahal sejatinya rokok adalah produk bercukai, dijual secara legal, dan sudah diberlakukan sistem penjualnya agar tak bisa dibeli oleh mereka yang belum boleh menikmatinya.

Indi Hikami

Indi Hikami

TInggal di pinggiran Jakarta