Wacana sanksi turun pangkat kembali hadir sebagai ancaman kepada aparatur sipil negara (ASN) yang merokok. Upaya tersebut akan diterapkan oleh Walikota Prabumulih, Ridho Yahya, terhadap para ASN yang melanggar ketetapan Perda KTR. Kalau kedapatan merokok di kantor, turun jabatan pokoknya.
Meski baru akan berjalan aturannya pada januari 2020, wacana ini mengisyaratkan kepada kita bahwa agenda kesehatan yang mendiskriminasi perokok masih terus berlangsung. Terutama dalam hal penerapan sanksi turun pangkat kepada ASN yang melanggar KTR.
Tentu wacana penerapan sanksi semacam itu bukan hal yang baru kali ini terjadi. Dulu, pemerintah Surabaya juga memberlakukan wacana serupa, para pelanggar KTR akan dikenai sanksi turun pangkat. Para pelanggar yang dimaksud adalah aparat pemerintah yang kedapatan merokok di lingkungan kantor pemerintahan.
Sebenarnya ada beberapa gagasan baik yang melandasi lahirnya Perda KTR. Di antaranya adalah gagasan untuk melindungi masyarakat yang tidak merokok dari paparan asap rokok. Selain itu, Perda KTR juga menjadi panglima dalam mengontrol perilaku bandel oknum perokok yang kurang edukasi. Celakanya, asas positif itu cenderung disusupi kepentingan lain yang diskriminatif.
Wacana Walikota Prabumulih itu kemudian mendapat respon evaluatif dari Ketua DPRD Prabumilih, Ahmad Palo. Dinyatakan langsung oleh Palo, kebijakan terkait penerapan sanksi sebaiknya janganlah kaku. Menurutnya, Pemerintah Kota Prabumulih harus lebih dahulu menyiapkan ruang merokok para ASN tersebut. “Kalau kita mau melarang merokok masuk kantor ya harus menyiapkan ruangan merokok, selain itu tidak setiap orang tidak bisa tanpa merokok,” tandasnya.
Seringkali kita temui di berbagai daerah pemberlakuan Perda KTR hanya untuk mencitrakan sikap kepala daerah yang (seolah-olah) berpihak terhadap isu kesehatan. Upaya pencitraan itu bukan berarti salah, hanya saja tidak pernah dibarengi semangat untuk taat asas dan konsisten pada penyediaan ruang merokok.
Sikap evaluatif yang disampaikan Ketua DPRD Prabumulih sudahlah betul dilakukan oleh pihak legislator. Karena sebetulnya penyediaan ruang merokok berfungsi juga untuk melindungi orang lain agar tidak terpapar asap rokok. Artinya dalam konteks ini perlu dikedepankan semangat yang memberi rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Bilamana ruang merokoknya sudah disediakan di lingkungan kantor pemerintahan, tapi masih saja ada aparat yang bandel mengabaikan aturan yang berlaku, maka tidak salah jika pelanggar itu diberi teguran. Barulah jika masih juga membandel mereka diberikan sanksi yang lebih berat.
Lagipula, segala sanksi terkait pelanggaran KTR yang ada di Perda dan Undang-undang tidak pernah mencantumkan sanksi penurunan pangkat kepada ASN. Sanksi administratif ada, yakni denda. Pidana, meski juga tidak benar, tapi tercantum dengan hitungan kurungan. Sementara, tidak pernah ada pasal yang membolehkan turun pangkat terjadi.
Biar bagaimanapun perokok memang perlu diedukasi, bukan melulu harus dijatuhi sanksi. Karena kesadaran untuk merokok sesuai pada tempatnya ini menjadi satu prioritas penting bagi kita semua. Pihak kepala daerah tentu saja tidak boleh memperlihatkan sikap yang seolah-olah tegas, tetapi dalam tingkat praktiknya justru mengabaikan rasa keadilan di masyarakat.
Kita bersepaham dengan segala niat baik pemerintah daerah yang ingin meningkatkan mutu keberhasilan daerahnya. Baik itu soal kesehatan serta kesejahteraan masyarakatnya. Namun jangan sampai salah kaprah juga dalam memaknai peraturan KTR, yang sangat mungkin bertentangan dengan aturan dan kepentingan publik dalam mengakses hak-haknya dalam mendapatkan kesetaraan.
Biar bagaimanapun perokok punya andil bagi kelangsungan pembangunan melalui cukai rokok. Maka janganlah diabaikan untuk pula mendapatkan public goods dari nilai produk konsumsi yang dibelinya itu.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024