Search

Sesat Pikir KPAI Terkait Tuduhan Eksploitasi Pada PB Djarum

Anak-anak Indonesia yang memiliki bakat dan minat di bidang bulutangkis terbilang beruntung. Setidaknya keinginan untuk mengembangkan bakat tersebut masih tersedia peluangnya. Peluang tersebut adalah ruang pembinaan bakat yang difasilitasi oleh banyak lembaga, dan salah satunya adalah PB Djarum. Sebuah klub bulutangkis yang punya rekam jejak membina bibit emas dan telah banyak mencetak nama-nama berprestasi. Sayangnya, semua itu bisa terancam bubar karena Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Keberadaan ajang audisi bulutangkis yang kerap diselenggarakan oleh PB Djarum untuk  menyaring bibit emas pebulutangkis tentu menjadi kabar baik bagi para orang tua. Bahkan bagi negara pun hal itu salah satu ruang yang cukup membantu mengangkat wajah gemilang Indonesia di kancah dunia. Terbukti dengan tercatatnya nama-nama seperti Rudy Hartono, Susu Santi, Alan Budikusuma, sampai pada Kevin Sanjaya dalam sejarah bulutangkis.

Celakanya, ajang positif dalam rangka menyeleksi pebulutangkis sejak dini itu tengah diusik oleh kepentingan KPAI yang sesat pikir. Boleh dikata sesat pikir KPAI di sini adalah bentuk kesalahkaprahan dalam menafsir tujuan baik PB Djarum. Ajang audisi yang sejatinya menjadi jalan terang yang mengantar martabat bangsa di bidang olah raga ke pangggung dunia itu dianggap sebagai tindakan eksploitasi anak. Saya sendiri tak habis pikir oleh cara KPAI dalam menalarnya.

Pasalnya KPAI menilai secara linear apa yang dilakukan PB Djarum sebagai sebuah kegiatan promosi brand rokok secara terselubung. Ajang audisi itu memang terbuka secara umum untuk semua anak Indonesia, boleh dikata ajang pencarian bakat ini setara dengan ajang pencarian bakat lain yang lazim diadakan di Indonesia.

Baca Juga:  Menilik Peraturan Larangan Merokok di Stadion

Landasan KPAI memprotes penyelenggaraan ajang tersebut berangkat dari penggunaan logo Djarum Fondation. Penggunaan logo tersebut disumsikan bertentangan dengan poin-poin tentang promosi produk tembakau di PP 109/2012.

Sementara dalam menyikapi hal itu, pihak PB Djarum sendiri menegaskan kalau penggunaan logo tersebut tidak ada hubungannya dengan promosi rokok. Penggunaan logo hanya sebatas bagian dari identitas mereka sebagai sebuah yayasan. Sekali lagi yayasan lho ya, bukan perusahaan rokok.

Padahal jika kita pelajari sejarahnya, kegiatan yang memajukan prestasi bangsa lewat bidang bulutangkis itu telah berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Meski mereka berkilah, bahwa regulasi tentang pembatasan promosi rokok baru diterbitkan melalui PP 109 pada tahun 2012. Dari sini saja kita sudah dapat menenggarai, bahwa apa yang dilakukan KPAI tersebut seolah-olah ingin menunjukkan upaya taat asas.  Namun tetap saja tidak jernih logikanya dalam memaknai ajang tersebut sebagai upaya promosi rokok. Banyak pihak pula menyesalkan kalau pembinaan bakat pebulutangkis itu harus dihentikan hanya lantaran penggunaan logo yayasan.

Baca Juga:  Membedah 3 Capres Pemilu yang Kira-kira Terkait dengan Bloomberg

Sederhana saja, kalau memang ajang itu adalah upaya promosi rokok. Tentu yang tertampak secara visual adalah logo resmi yang biasa kita lihat di bungkus rokok. Sebuah gambaran dari jarum gramafon. Tentu juga jika itu sebuah kegiatan promosi, penggunaan identitas dari kegiatan audisi tersebut akan menerakan nama Djarum Super.

Artinya, ada kesalahkaprahan dalam memaknai identitas di situ. Bagi mereka Djarum sudah dikenal secara luas sebagai salah satu merek dari rokok. Keserampangan menafsir itu menyasar pada dugaan promotif pengggunaan logo yayasan. Justru hal itu semakin menampakkan KPAI betapa gagal paham betul KPAI memaknai identitas.

Kalau sesat pikir semacam itu terus dipelihara oleh KPAI, bukan tidak mungkin banyak pihak akan tambah antipati dengan KPAI, dan sebagian lainnya akan menjadi masyarakat yang gagal paham. Sederhananya di tingkat elementer saja, terkait memaknai identitas yayasan dan logo rokok  saja KPAI belum selesai, apalagi harus melakukan tindakan konkret yang berkaitan dengan persoalan anak-anak Indonesia.