Ada dua hal ajaib dari persoalan KTR yang selalu menggelitik nalar cekak saya. Pertama, KTR dibuat seolah-olah hanya untuk mengasingkan perokok. Kedua, di beberapa daerah, penerapan Perda KTR tidak pernah dibarengi semangat penyediaan ruang merokok. Malah mengarah ke penerapan sanksi.
Mungkin kita masih ingat waktu sejumlah anggota DPRD di Batam secara cuek merokok di ruang rapat paripurna. Di tempat yang bukan seharusnya, lantaran gedung pemerintahan termasuk tempat yang terikat oleh peraturan Kawasan Tanpa Rokok.
Tentu saja aktivitas merokok yang bukan pada tempatnya itu perbuatan yang tidak patut diteladani. Seperti halnya waktu lalu yang dilakukan anggota DPRD, Edriansyah Rendy, yang merokok di ruang lobi seusai acara pelantikan. Oleh pihak YPI (Yayaasan Pusaka Indonesia) perbuatan Rendy disebut melanggar Pergub Sumatera Utara No.35/2012. Celakanya, media memframing sosok Rendy yang dikenal juga sebagai anak Walikota Medan.
Artinya, dari framing itu seakan-akan opini publik digiring pada dua hal. Pertama, itu anak walikota saja memberi contoh buruk apalagi perokok lainnya. Kedua, bahwa perokok dari golongan manapun tidak punya attitude yang baik dalam menghargai KTR juga hak orang lain. Boleh jadi, dari kejadian-kejadian semacam inilah, upaya penerapan sanksi kepada pelanggar KTR mendapatkan alasannya.
Sejatinya kalau kita mau telisik, kejadian semacam itu tidak akan menjadi polemik yang berulang. Jika saja di gedung-gedung pemerintahan—yang dalam poin KTR disebut sebagai tempat kerja—menyediakan fasilitas ruang merokok. Artinya, ketiadaan ruang merokok dan edukasi terkait KTR harus pula menjadi prioritas pemerintah daerah. Agar masyarakat serta pejabat daerah yang merokok dapat memberikan teladan yang baik.
Asas ketersediaan ruang merokok bukan sebatas untuk memfasilitasi keberadaan perokok. Namun juga menjadi solusi bijak yang menjamin kenyamanan bagi semua pihak. Intinya, agar masyarakat lain juga tidak terpapar asap rokok.
Oke kita sepakat, bahwa asap rokok berpotensi mengganggu orang lain, oleh karena itu ketersediaan ruang merokok di KTR jangan pula diabaikan. Perlu diingat, kewajiban terkait penyediaan ruang merokok telah diisyaratkan dalam UU Kesehatan No.36, pasal 115, melalui keputusan MK.
Pelanggaran terhadap KTR tentu bukan hal yang patut dibenarkan. Tetapi kita juga harus menalarnya dengan bijak, bahwa ada faktor yang mengalasani pelanggaran itu bisa terjadi. Gambaran sederhananya, jika kita dilarang buang sampah sembarangan, maka untuk menunjang aturan itu disediakanlah sejumlah tempat sampah. Agar setiap orang dapat membuang sampah pada tempatnya.
Praktisnya, jika memang pemerintah daerah bersungguh-sungguh ingin menjamin rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Pula jika pemerintah daerah tidak ingin pelanggaran KTR berulang terjadi. Langkah-langkah solusinya sudah jelas, sediakan ruang merokok dan berikan edukasi terkait KTR.
Kalau terhadap hal sepele semacam itu terus saja diabaikan. Maka bukan tidak mungkin, akan subur semangat pembangkangan dari perokok. Kita sebagai perokok sejatinya tidak ingin melecehkan aturan KTR, jika memang dalam pemberlakuannya berasas keadilan serta menjamin hadirnya rasa kemanusiaan bagi semua pihak.
- Kesalahan Antirokok dalam Memandang Iklan Rokok dan Paparannya Terhadap Anak - 4 June 2024
- Pengendalian Tembakau di Indonesia dalam Dua Dekade - 3 June 2024
- HTTS Hanyalah Dalih WHO untuk Mengenalkan NRT - 31 May 2024