Press ESC to close

Kegilaan Negara Menaikkan Tarif Cukai Di Angka 23%

Ketika pemerintah memutuskan kenaikan tarif cukai ada di angka 23%, kepala saya hanya memikirkan satu kata: gila! Ya, kenaikan tarif cukai tersebut bakal membuat kenaikan harga ada di angka 35%. Artinya, rerata harga rokok premium tahun depan ada di kisaran Rp 30 ribu.

Ini adalah kegilaan yang bahkan lebih gila dari bayangan terburuk saya soal kenaikan cukai. Ketika pemerintah menargetkan kenaikan target penerimaan cukai di angka 9%, kami kira tarif bakal naik di angka 12-13%. Itu pun bukan angka ideal kenaikan cukai menurut kami.

Dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan kelesuan bisnis di hampir semua sektor, kami kira 5% adalah yang paling ideal untuk angka kenailan tarif cukai. Sialnya, semua itu semu. Dalam kondisi paling buruk ini negara justru menaikkan tarif dengan sangat tidak masuk akal. Otomatis hanya kerugian yang bakal didapat negara dari kebijakan semacam ini.

Bagi kami para konsumen, kenaikan tarif cukai dan harga rokok setinggi itu tentu akan sangat berdampak. Jika sebelumnya ada perokok yang mengisap LA Lights, maka tahun depan derajatnya akan turun dengan mengonsumsi U-Mild. Di level terendah, pilihannya hanya mengonsumsi rokok ilegal atau melinting rokok sendiri.

Baca Juga:  Perilaku Masyarakat dan Lemahnya Pengelolaan Kebun Binatang

Tidak semua perokok punya uang untuk membeli rokok mahal. Dengan tingginya harga rokok, konsumen tentu akan membeli rokok yang lebih murah sebagai solusi. Ingat, kretekus itu cerdas dan kreatif, kalau tidak bisa beli rokok sebungkus ya beli batangan. Kalau tidak bisa membeki, ya minta rokok teman.

Dan dengan angka kenaikan harga rokok ini, pilihan terbaik konsumen ya hanya dua: tingwe atau beli rokok murah. Bayangkan saja, harga rokok MLD isi 20 batang ada di harga Rp 21 ribu. Dengan keputusan besaran kenakkan rarif cukai, artinya tahun depan harganya ada di kisaran angka 28 ribu.

Dengan demikian, tujuan dan alasan pemerintah naikkan tarif cukai tinggi untuk kurangi jumlah perokok tidak bakal terwujud. Dengan naiknya harga rokok hingga 35%, yang akan terjadi hanya berpindahnya konsumen ke produk yang lebih murah atau bahkan ilegal sama sekali. Jumlah perokok tidak turun, target pemerimaan negara bisa jadi tidak tercapai.

Jika ada yang menganggap kalau perokok itu tidak ada urusannya dengan cukai, tentu saja itu salah besar. Cukai itu pungutan yang dibebankan pada konsumen. Dari setiap batang rokok yang kretekus beli, lebih dari setengahnya masuk ke kas negara. Artinya, tanpa cukai harga rokok bakal relatif lebih murah.

Baca Juga:  Usulan Untuk Mendapatkan Dana Insentif adalah Bukti Kengawuran Antirokok

Ini baru dalam konteks konsumen ya, belum petani atau buruh. Karena, dengan tingginya cukai dan harga rokok, pasti akan membuat angka penunan serapan dari industri. Kalau sudah begitu, serapan tembakau dari petani di ladang bakal ikut berkurang kuotanya.

Konsumen memang terdampak, tapi konsumen punya jalan meluar dari persoalan ini. Sementara para buruh dan petani bakal merasakan robohnya industri karena lebijakan yang tidak bijak dari seorang presiden. Kalau sudah begini, mungkin lebih baik pemerintah langsung saja mematikan hidup masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari persoalan ini.

Aditia Purnomo

Aditia Purnomo

Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa | biasa disapa di @dipantara_adit