Kebijakan pemerintah Indonesia menaikkan tarif cukai rokok menjadi 23% di 2020 nanti mengundang tanda tanya besar bagi masyarakat. Jalan yang dipilh tersebut tentu dirasa tidak bijak mengingat double digit adalah angka yang terlalu besar untuk dibebankan pada rakyat. Banyak pengamat yang mengkritisi kebijakan tersebut. Terlebih, karena di tahun 2019 ini pemerintah memilih untuk tidak menaikkan cukai rokok.
Pada awal 2019 pemerintah mengumumkan hasil penerimaan cukai rokok yang naik dari tahun sebelumnya. Kabar ini kemudian diglorifikasi sedemikian rupa lalu menganggap bahwa kenaikan cukai rokok memberi untung besar kepada pemasukkan negara. Padahal, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dimewah-mewahkan karena naiknya penerimaan terjadi berkat semakin tingginya tarif cukai.
Ironisnya, bak seolah-olah lupa dengan apa yang mereka agung-agungkan tentang penerimaan cukai, tahun lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk tidak menaikkan tarif cukai 2019. Jadi tahun ini, tarif cukai sama seperti tahun 2018.
Alasan yang dipilih saat itu sungguh agung. Bagi pemerintah, menaikkan tarif cukai justru akan merugikan petani tembakau yang memang memainkan peranan penting dalam industri tembakau. Alasan itu kemudian digaungkan sedemikian rupa hingga jadi bahan kampanye untuk melanggengkan status quo. Sungguh mereka lupa bahwa Jokowi faktanya tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga 50% selama menjabat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Ini yang perlu dicatat.
Pada 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04% sehingga total 40,49%. Pada tahun lalu, pemerintah tidak menaikkan tarif. Tahun depan, pemerintah akan menaikkan lagi di angka 23%, sehingga sejak 2015-2020 kenaikan mencapai 63,49%. Sungguh angka yang fantastis.
Jika pada 2019 tak ada kebijakan menaikkan cukai karena alasan melindungi petani dan konsumen. Kali ini pemerintah berdalih menaikkan cukai progresif untuk menekan angka perokok muda atau mengurangi tingkat konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Standar ganda yang sangat lucu bukan?
Lagipula jika alasannya untuk mengurangi konsumsi rokok di tingkatan masyarakat, mengapa harus mengambil jalan menaikkan cukai? Kenapa tidak sekalian saja rokok itu diilegalkan sehingga tidak ada lagi asap rokok di antara masyarakat. Kebijakan k ini ibarat negara ingin tetap dapat cuan besar dari barang yang selama ini mereka kebiri. Sungguh penghisapan yang nyata bagi masyarakat yang menikmati rokok sebagai hiburan mereka dan media pelepas penat. Apalagi dibarengi dengan beberapa naiknya barang pokok di masyarakat. Kalau harga sudah naik semua begini lantas apa gunanya pemerintah?
Kemana juga dalil soal perlindungan terhadap petani yang sebelumnya mereka agung-agungkan bak dalil suci kala memilih untuk tidak menaikkan tarif cukai. Rasanya jika ada kesempatan langsung untuk bertemu Menteri Keuangan dan Presiden mari kita sama-sama memutar ulang dalil-dalil busuk itu.
Saat ini kenaikan secara progresif akan menghancurkan petani tembakau. Jelas ini semua akan bermula dari daya konsumsi masyarakat akan pembelian rokok menurun drastis. Jika demikian produksi rokok oleh pabrikan akan berkurang dan berdampak ada permintaan tembakau ke petani. Alasan pemerintah pada 2019 lalu tentu sekali lagi akan bertolak belakang.
Sudah saatnya memang pemerintah stop menggunakan dalil-dalil atas nama rakyat demi kebijakan mereka yang justru tidak pro rakyat. Kalau memang ingin menaikkan tarif, tak usahlah pakai alasan pengurangan konsumen. Cobalah untuk jujur kepada masyarakat bahwa keuntungan dari rokok memang sangat besar dan pemerintah ingin mengeruk uang sebesar-besarnya dari itu. Tak sulit kan?
- Rokok Lucky Strike, Cigarettes That Always Strike You! - 7 November 2021
- Apa Rokok Paling Enak Versi Perempuan? - 16 October 2021
- Rekomendasi Rokok Enak Untuk Pemula (Bagian 2) - 9 October 2021